Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Tujuh)



Kaysa:             Apa? Kau mau jawab apa? Perempuan tadi menelpon ketika aku mengambilkan barangmu di mobil
Adib:               Kaysa Kau Perempuan lancang!
Kaysa:             Hei jangan alihkan pembicaraan. Kali ini, bukan tentang kelancanganku dalam membuka barang pribadi orang lain. Tapi, ini tentang KEBOHONGANMU yang TERBONGKAR! Kau menodai kesucian pernikahan dengan kebohongan yang menjjikkan!
Adib :              (merah padam. Ia tahu, tak ada alagi cara untuk mengelak)
Ayah Kaysa:   Adib, benar yang dikatakan putriku?
Adib :               (diam)
Ayah Kaysa:   Adib, tatap mataku!
Adib :                Apa yang akan kalian lakukan jika aku menjawab YA?
Ayah Kaysa:    (hendak menampar Adib, tapi ditahan oleh Faqih) Adib, dengarkan aku. Demi  Allah, aku tak ridho lahir batin kau menjadi menantuku. ENYAH DARI HADAPANKU!
Adib:               (Sepersekian detik Adib diam dengan napas memburu, lalu menendang meja dan pergi sambil mengerang frustasi)

(Kaysa duduk, menutup muka. Menangis. Ibunya mengelus-elus pungggung kaysa sembari menitikkan air mata)
Penghulu:       Baiklah, sepertinya kali ini belum ditakdirkan terjadi pernikahan.
Ayah kaysa:   Ya, aku pun berpikir begitu. Baiklah, semuanya. Takada yang perlu ditangisi. Mari kita pulang.

(Semuanya beranjak dari tempatnya. Bersiap-siap pulang)
Marbot:               Maaf, sebelum kalian pergi. Aku hendak mengatakan sesuatu.
Ayah Kaysa:       Silahkan katakan.
Marbot:               Aku tidak akan memaksa. Tapi jika kalian bersedia, akad nikah tetap bisa berlanjut.
Ayah Kaysa:       apa maksudmu Pak?
Marbot:               Yang menduduki posisi sebagai mempelai laki-laki sudah pasti bukan Adib. Tapi, aku tahu siapa yang layak menggantikannya.(Diam sejenak, melihat sekeliling. Tak ada yang merespon) Aku mengenal seorang pemuda. Yang sejak pertama kali bertemu, aku tidak pernah mendapati ia lalai dalam sholatnya, baik sholat wajib maupun sunnah. Usianya sudah mencapai kematangan untuk menikah. Tapi tak sekalipun aku menjumpai matanya berkeliaran pada yang tak halal. Kesantunannya menciptakan ta’zhim dalam diriku padanya. Meskipun secara usia, dia jauh lebih muda. Ia bukan pemuda yang hidup dalam gelimang harta.Selama 4 tahun berkuliah di Jakarta, ia tinggal di masjid—Masjid ini. Mengabdi di rumah Allah.  Ibunya meninggal bertahun lalu dan mengamanatkannya untuk menikah setelah lulus dari kuliah. Aku tahu itu ketika membaca surat wasiat ibunya yang tergeletak di lantai ketika ia tidur.
Ayah Kaysa:       Siapa pemuda itu?
Marbot:               (berjalan menghampir Faqih, memegang pundak faqih) Pemuda itu adalah Faqih.
Ayah Kaysa:       Faqih, benar yang dikatakan bapak ini?
Faqih:                   (diam)
Ayah Kaysa:       Jawab saja, nak.
Faqih:                   I.. i.. iya, betul.
Ayah Kaysa:       Lalu, apakah sudah ada gadis yang kau pilih untuk menunaikan amanah ibumu?
Faqih:                   Mm.. (diam, menunduk)
Ayah Kaysa:       Nak, angkat wajahmu. Jawab saja pertanyaanku.
Faqih:                   Sejujurnya sudah.. Dan..
Ayah Kaysa:       Lanjutkan, nak..
Faqih:                   dan.. perempuan itu.. adalah Kaysa.
Kaysa:                   (menoleh kaget) Apa aku tidak salah dengar, Faqih?
Faqih:                   (mengangguk)
Kaysa:                   La..Lalu.. Ken.. kenapa tidak kau nyatakan sejak lama?
Faqih:                   Kaysa, dengarkan aku. Ketika seorang laki-laki jatuh cinta, maka pilihan baginya ada dua : mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Dan ketika aku tahu bahwa kesempatan itu telah diambil saudaraku, maka yang bisa kulakukan adalah mempersilahkan.
Kaysa:             Dan kamu membiarkanku masuk dalam lingkar hidup seorang laki-laki keji yang kau sebut saudara?
Faqih:              Maaf, untuk itu aku tidak tahu.
Ayah Kaysa:  Faqih (mendekati faqih) jika memang tekadmu sudah bulat, maukah kamu melaksanakannya sekarang?
Faqih:              Tidakkah itu terlalu cepat?
Ayah:               Tidak ada yang  salah dalam menyegerakan kebaikan.
Faqih:               (diam)
Ayah Kaysa:    Mahar apa yang bisa kau berikan?
Marbot:            Sudah kukatakan bahwa dia bukan yang hidup dalam gelimang harta. Maka jangan mengharapkan mas kawin sebanyak yang Adib berikan. Tapi, setahuku Ibunya memberikan ia.. (terpotong)

(Baca kelanjutan ceritanya: Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga - Segmen Delapan)

Post a Comment for "Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Tujuh)"