Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Empat)



Adegan 4
Di hari lain, Faqih dan Adib melanjutkan diskusinya.
(Keduanya duduk di tempat yang sama dengan diskusi pertama)

Adib:                    Kemarin sampai mana, ya?
Faqih:                   Mm, sampai sini kalau tidak salah.
Adib:                    Berarti sekarang, kita ngebahas.... Bab Poligami?
Faqih:                   Iya. Mm, siapa dulu yang mau baca bukunya?
Adib:                    Aku deh. Coba kamu baca-baca materi yang di laptop aja dulu.
Faqih:                    (mengambil laptop, mulai membaca)
Adib:                  Eh, bentar deh. Ngomong-ngomong tentang poligami , apa pendapat kamu          tentang itu?
Faqih:                   Aduh, pertanyaan berat itu mah. Satu istri aja belum kepikiran, hehe..
Adib:                 Lho, belum ada rencana nikah, qih? Masa’ sih? Aku aja janji pada ayahku akan melepas masa lajang setelah lulus S1.
Faqih:                   Wah, betulan? Aku pegang omonganmu ya.
Adib:                    Eh, kamu belum jawab pertanyaanku.
Faqih:                  Mm, gimana, ya.. (sejenak berpikir). Yang pasti aku sama sekali tidak menentang. Hukumnya jelas boleh, dan Rasul kita juga melakukannya. Tapi jika ingin melakukannya juga, orang-orang patut berkaca. Sebab jika yang dijadikan acuan adalah Rasul, apakah mereka sudah menyamai kapasitas Rasulullah dalam bersikap adil? Sekali lagi, Rasul mencontohkan. Tapi tidak memerintahkan. Mungkin sebagian besar laki-laki merasa bahwa memiliki istri lebih dari satu akan membahagiakan mereka. Itu belum tentu sebetulnya. Itu kebahagiaan yang masih sebatas perkiraan. Hanya satu hal yang pasti tercipta jika laki-laki memilih poligami.
Adib:                     Apa?
Faqih:                    Luka permanen di hati istri pertama.
Adib:            Ah, aku sampai sekarang masih heran. Apa sebetulnya yang menghalangi perempuan  untuk mengizinkan suaminya menikah lagi. Toh segalanya masih akan tetap dipenuhi. Nafkah tetap diberikan. Apa yang harus dikhawatirkan oleh mereka? Sebagian besar dari perempuan mungkin memang terlalu egois.
Faqih:                 Itu bukan keegoisan, menurutku, Adib. Itu fitrah. Kamu tahu alasan Rasul tidak mau menikahi perempuan Ansor? Bukan karena mereka tidak layak bersanding dengan Nabi. Tapi karena Rasul tahu, rata-rata dari mereka memiliki rasa cemburu yang besar. Dan Beliau tidak mau menyiksa perempuan dengan hal itu. Begitu pula ketika Ali hendak menduakan Fathimah. Rasul menentang keras karena beliau sangat memahami kekuatan batin putrinya. Jadi, memang tidak semua perempuan kuat menerima keputusan poligami. Dan itu bukan kesalahan mereka.
Adib:                     Ah, terserah kamu saja lah (kembali membaca buku)

(Kaysa tiba-tiba datang)
Kaysa:                  Assalamu’alaikum..
Adib dan Faqih:  Wa’alaikum salam warahmatullah..
Adib:                  (Bangkit dari duduknya) Eh, Kaysa. Mau ngajar ngaji, ya? Aku kira hari ini         sedang libur.
Kaysa:                  Memang hari ini tidak ada jadwal pengajian. Aku ke sini mau menemui Faqih
Adib:                    (raut kecewa) Oh, Faqih. Oke, oke (menoleh pada Faqih). Qih, dicari nih..
Faqih:                   (berdiri menghampiri Kaysa) Ada apa?
Kaysa:                  Mm, Faqih, boleh aku meminjam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer?
Faqih:                   Oh, yang kemarin. Boleh-boleh. Aku ambil dulu ya. (Pergi mengambil buku)
Adib:                    Kamu butuh buku itu? aku punya dari jilid satu sampai sepuluh di rumah. Kenapa tidak meminjam padaku saja.
Kaysa:                  Jilid satu sampai sepuluh? Setahuku hanya ada tiga jilid. Eh, tapi tidak tahu kalau sudah terbit jilid lanjutan.
Adib:                 Eh, yah, maksudku segitulah. Aku punya di rumah. Kalau kamu mau pinjam,     besok   aku bawakan ke kampus.
Kaysa:              Nggak usah, nggak apa-apa. Aku pinjam buku Faqih karena kebetulan dia juga membuat catatan-catatan kecil di bukunya, yang barangkali bisa membantu pemahamanku.
Faqih:                    (datang membawa buku) Nah, ini bukunya.. (menyerahkan kepada Kaysa)
Kaysa:             (menerima buku dari Faqih) Aku pinjam dulu, ya.Tapi, aku bakal minjem lama kayaknya.
Faqih:                   Oh, nggak apa-apa. Itu juga bukan buku kuliah, kok. Hanya bacaan tambahan.
Kaysa:                  Baiklah. Makasih banyak. Aku pamit ya. Assalamu’alaikum. (pergi)
Faqih dan Adib: Wa’alaikum salam..
(Faqih kembali kehadapan laptop)(Adib belum beranjak dari tempatnya berdiri)

(Baca kelanjutan ceritanya: Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga - Segmen Lima)

Post a Comment for "Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Empat)"