(Angel dan Devil
datang, menghampiri Adib)
Devil: Wah,
roman-romannya ada yang kalah start, nih. Keduluan orang ya, bro. Hahahaha..
Angel: Mohon
ampun sama Allah, dib. Supaya adem hatinya.
Devil: Maju
terus, Dib. Jangan mau kalah. Kamu kan kaya, pinter, populer. Siapa sih yang nggak mau? Faqih mah. Ah.. seujung kuku.
Angel: Nggak
boleh merendahkan orang lain, Dib. Semua orang udah ada jatah nikmatnya kok.
Jadi jangan khawatir direbut orang.
Devil: Seorang
Adib bukan tipe orang yang mundur sebelum berjuang. Pokoknya jangan mau kalah.
JANGAN MAU KALAH.
Angel: Tap...
(terpotong)
Adib: (Tersenyum
sinis) Iya, aku nggak akan kalah.
(suara Azan berkumandang)
Devil: (menutup kuping) Waa, panasss, panasss... (kabur)
Angel:
(geleng-geleng).
Faqih: Adib, udah maghrib ternyata. Sholat dulu yuk (membereskan barang-barang)
Adegan 5
4 tahun kemudian..
Hari bahagia
yang dinanti setiap mahasiswa tiba. Ijazah dalam genggaman, dan kampung halaman
menanti kedatangan. Faqih tidak pernah berhenti menanti hari ini. Di masjid
ini, yang selama 4 tahun menjadi saksi warna-warni hari.
Faqih: (duduk
menggenggam ijazah) Alhamdulillah. Selesai sudah perjuangan 8 semester yang
melelahkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan ibu sendirian. Sekarang, aku
sudah bisa pulang (memasukkan ijazahnya ke dalam tas). (faqih menemukan sesuatu
terbungkus kertas cokelat di dalam tas) Lho, ini apa ya? (mengingat-ingat)
Astaghfirullah.. Ini kan yang Ibu berikan sebelum berangkat. Beliau bilang,
hanya boleh dibuka setelah lulus kuliah. Berarti sekarang aku boleh membukanya.
(Perlahan faqih membuka isi bungkusan itu)
Faqih: Cincin?
(Faqih mengamati bungkusan merah di tangannya) Ada sepucuk surat.
(*naskah surat terlampir: Baca, Sepucuk Surat dari Ibunda Faqih)
(*naskah surat terlampir: Baca, Sepucuk Surat dari Ibunda Faqih)
(Faqih terduduk lemas)
Faqih berlutut
dalam ketidakpercayaan. Terhenyak, terpukul. Harapannya untuk pulang segara
terpatahkan. Satu-satunya tujuan ia berpulang,
tidak lagi memijak bumi. Ibu tercintanya, yang ia tinggalkan dalam
keadaan sakit-sakitan, meninggal dunia.
Selama beberapa
saat, Faqih bak kehilangan kemampuan bergeraknya. Ia tahu ia laki-laki. Tapi
kali ini ia biarkan beberapa bulir kelemahan menyusuri lekuk pipinya.
Namun, Faqih
segera sadar. Bukan tangisan, apalagi rengekan. Yang mesti dilakukannya adalah
mencari jalan untuk melaksanakan amanah agung itu.
Faqih: (melipat
suratnya, memasukkan ke dalam tas, lalu menyeka wajah)
(Kaysa datang)
Kaysa: Assalamu’alaikum..
Faqih, apakah itu kamu?
Faqih: (menoleh)
Wa’alaikum salam. Oh, Kaysa, ada apa?
Kaysa: Masih
ingat buku yang kupinjam 4 tahun lalu? Ini aku hendak mengembalikannya.
(menyerahkan buku)
Faqih: Oo, buku
Fatwa Kontemporer itu. Aku bahkan baru ingat.
Kaysa: Terima
kasih banyak, ya. Mohon maaf terlalu lama mengembalikannya.
Faqih: Nggak
apa, santai saja.
Kaysa: Ya sudah,
aku langsung pulang ya. Jazakallah, Faqih (membalikkan badan, melangkah pergi)
Faqih: (berpikir
sejenak) Mm, Kaysa, tunggu sebentar.
Kaysa: Kenapa?
Faqih: Mmm..
Faqih berpikir. Haruskah ia mengatakan sekarang? Tidakkah terllau
terburu-bru?
Faqih: Anu, mm.. Besok ada waktu luang tidak?
Kaysa: Besok aku
ada acara sebetulnya.
Faqih: Mm, kalau
ada waktu, aku ingin bicara sebentar.
Kaysa: Oh, gitu.
Mungkin bisa, sih. Bagaimana jika selepas acara, aku akan menemuimu di masjid
ini?
Faqih: Aku saja
yang datang ke rumahmu.
Kaysa: Tidak
usah. Di rumah tidak akan ada orang. Aku akan datang sekalian perjalanan
pulang. Bagaimana?
Faqih: Oh,
baiklah. Terima kasih.
Kaysa: Ya,
sudah. Aku pulang ya. Assalamu’alaikum.
(Baca kelanjutan ceritanya: Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga - Segmen Enam)
(Baca kelanjutan ceritanya: Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga - Segmen Enam)
Post a Comment for "Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Lima)"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.