Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Lima)



(Angel dan Devil datang, menghampiri Adib)
Devil:             Wah, roman-romannya ada yang kalah start, nih. Keduluan orang ya, bro. Hahahaha..
Angel:            Mohon ampun sama Allah, dib. Supaya adem hatinya.
Devil:            Maju terus, Dib. Jangan mau kalah. Kamu kan kaya, pinter, populer. Siapa sih yang nggak mau? Faqih mah. Ah.. seujung kuku.
Angel:           Nggak boleh merendahkan orang lain, Dib. Semua orang udah ada jatah nikmatnya kok. Jadi jangan khawatir direbut orang.
Devil:            Seorang Adib bukan tipe orang yang mundur sebelum berjuang. Pokoknya jangan mau kalah. JANGAN MAU KALAH.
Angel:             Tap... (terpotong)
Adib:               (Tersenyum sinis) Iya, aku nggak akan kalah.
(suara Azan berkumandang)
Devil:               (menutup kuping) Waa, panasss, panasss... (kabur)
Angel:              (geleng-geleng).
Faqih:               Adib, udah maghrib ternyata. Sholat dulu yuk (membereskan barang-barang)

Adegan 5
4 tahun kemudian..
Hari bahagia yang dinanti setiap mahasiswa tiba. Ijazah dalam genggaman, dan kampung halaman menanti kedatangan. Faqih tidak pernah berhenti menanti hari ini. Di masjid ini, yang selama 4 tahun menjadi saksi warna-warni hari.

Faqih:           (duduk menggenggam ijazah) Alhamdulillah. Selesai sudah perjuangan 8 semester yang melelahkan. Sudah lama sekali aku meninggalkan ibu sendirian. Sekarang, aku sudah bisa pulang (memasukkan ijazahnya ke dalam tas). (faqih menemukan sesuatu terbungkus kertas cokelat di dalam tas) Lho, ini apa ya? (mengingat-ingat) Astaghfirullah.. Ini kan yang Ibu berikan sebelum berangkat. Beliau bilang, hanya boleh dibuka setelah lulus kuliah. Berarti sekarang aku boleh membukanya.
(Perlahan faqih membuka isi bungkusan itu)
Faqih:              Cincin? (Faqih mengamati bungkusan merah di tangannya) Ada sepucuk surat.
(*naskah surat terlampir: Baca, Sepucuk Surat dari Ibunda Faqih)

(Faqih terduduk lemas)
Faqih berlutut dalam ketidakpercayaan. Terhenyak, terpukul. Harapannya untuk pulang segara terpatahkan. Satu-satunya tujuan ia berpulang,  tidak lagi memijak bumi. Ibu tercintanya, yang ia tinggalkan dalam keadaan sakit-sakitan, meninggal dunia.
Selama beberapa saat, Faqih bak kehilangan kemampuan bergeraknya. Ia tahu ia laki-laki. Tapi kali ini ia biarkan beberapa bulir kelemahan menyusuri lekuk pipinya.
Namun, Faqih segera sadar. Bukan tangisan, apalagi rengekan. Yang mesti dilakukannya adalah mencari jalan untuk melaksanakan amanah agung itu.

Faqih:              (melipat suratnya, memasukkan ke dalam tas, lalu menyeka wajah)

(Kaysa datang)
Kaysa:             Assalamu’alaikum.. Faqih, apakah itu kamu?
Faqih:               (menoleh) Wa’alaikum salam. Oh, Kaysa, ada apa?
Kaysa:             Masih ingat buku yang kupinjam 4 tahun lalu? Ini aku hendak mengembalikannya. (menyerahkan buku)
Faqih:              Oo, buku Fatwa Kontemporer itu. Aku bahkan baru ingat.
Kaysa:             Terima kasih banyak, ya. Mohon maaf terlalu lama mengembalikannya.
Faqih:               Nggak apa, santai saja.
Kaysa:             Ya sudah, aku langsung pulang ya. Jazakallah, Faqih (membalikkan badan, melangkah pergi)
Faqih:               (berpikir sejenak) Mm, Kaysa, tunggu sebentar.
Kaysa:              Kenapa?
Faqih:               Mmm..

Faqih berpikir. Haruskah ia mengatakan sekarang? Tidakkah terllau terburu-bru?
 Faqih:               Anu, mm.. Besok ada waktu luang tidak?
Kaysa:               Besok aku ada acara sebetulnya.
Faqih:                Mm, kalau ada waktu, aku ingin bicara sebentar.
Kaysa:              Oh, gitu. Mungkin bisa, sih. Bagaimana jika selepas acara, aku akan menemuimu di   masjid ini?
Faqih:              Aku saja yang datang ke rumahmu.
Kaysa:             Tidak usah. Di rumah tidak akan ada orang. Aku akan datang sekalian perjalanan pulang. Bagaimana?
Faqih:              Oh, baiklah. Terima kasih.
Kaysa:             Ya, sudah. Aku pulang ya. Assalamu’alaikum.

(Baca kelanjutan ceritanya: Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga - Segmen Enam)

Post a Comment for "Menyempurnakan Separuh Agama dengan Cara Tak Terduga (Segmen Lima)"