Salah satu benih spiritualitas yang diharapkan tumbuh subur di atas lahan puasa adalah kemampuan “menahan diri”, “mengendalikan diri”, atau “menjaga diri”. Benih ini sesungguhnya yang akan menentukan “jati diri” kita yang sebenarnya.
Insya Allah kita masih ingat “rumus baku” puasa yang berujung pada “la’allakum tattaquun”. Ya, berujung pada Takwa. Dan, Subhanallah, kita sama-sama memahami bahwa makna esensial dari Takwa adalah “menjaga diri”, sebagaimana substansi dialog berikut ini:
“Apa itu takwa ?”, tanya Umar bin Khatab suatu ketika kepada Ka’ab Al-Ahbar
“Pernahkah Anda menapaki jalan berduri?”, jawab Ka’ab dengan pertanyaan balik
“Ya”
“Apa yang Anda lakukan?”
“Aku berhati-hati, berusaha menjaga diri agar tidak tertusuk”, jawab Umar
“Itulah Takwa”, jawab Ka’ab singkat.
Ketika puasa diikat kuat-kuat maknanya dalam ranah spiritualitas sebagaimana yang terpantul dari ungkapan-ungkapan di atas, maka sepanjang hayat masih dikandung badan, puasa sejatinya selalu relevan untuk dilakukan, bahkan ia lebih merupakan sebagai sebuah kebutuhan.
Tatkala puasa menukik maknanya dalam samudera spiritualitas, maka kemudian momentum “Hari Kemenangan” sama sekali bukan pada saat kita merayakan Idul Fitri setiap tanggal 1 Syawal itu. Bukan! Kalau toh itu dipaksakan juga pemaknaannya sebagai hari kemenangan, maka itu lebih tepat disebut sebagai hari kemenangan yang sangat temporer, dan sekaligus sangat superfisial.
Bagaimana 1 Syawal bisa dimaknai sebagai hari kemenangan, sementara tidak sedikit yang kembali pada perilaku menyimpang? Bagaimana 1 Syawal bisa dimaknai sebagai hari kemenangan, sementara tidak sedikit yang kembali meneruskan tradisi jahiliyah? Bagaimana 1 Syawal bisa dimaknai sebagai hari kemenangan, sementara tidak sedikit yang kembali melanjutkan proyek-proyek rekayasa manipulatif koruptif yang mungkin sempat tertunda beberapa saat saja di bulan Ramadhan? Bagaimana 1 Syawal bisa dimaknai sebagai hari kemenangan, sementara tidak sedikit yang seringkali terkalahkan oleh Nafsu Angkara Murka?
Terus terang, saya lebih suka memaknai “Hari Kemenangan” itu melalui isyarat yang terpancar dari firman Allah SWT yang ini: Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam barisan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 27-30).
Hari kemenangan dalam perspektif di atas hanya bisa diraih oleh orang-orang yang terus melaksanakan “Puasa” selama hidup di dunia yang fana ini. Puasa yang maknanya meloncat tinggi di atas pagar-pagar fikih, melambung ke angkasa pemaknaan yang transenden spiritual. Maka, berpuasalah di dunia, dan berbukalah di surga. Wallahua’lam. (Baca juga tulisan ini ya: Alumni Madrasah Ramadhan dan Metafora Baju Lebaran)
Post a Comment for "Berpuasalah di Dunia dan Berbukalah di Surga"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.