Sampai artikel ini saya tulis dan saya posting di halaman ini, hal ihwal terkait Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang BPJS Kesehatan masih menjadi perbincangan hangat di beberapa kalangan. Bahkan beberapa hari yang lalu, sementara saya sedang antri membeli Tongseng Kambing di salah satu warung yang tidak jauh dari rumah, seorang kawan dari perumahan yang sama dengan saya tapi dari Blok yang berbeda, mendekat dan langsung berkata dengan penuh semangat, “Dok, dua bulan yang lalu, sebelum ada Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan, saya melayangkan SMS kepada Pak Jokowi. Saya bilang, Pak Jokowi, cepat bubarkan BPJS”
Seperti biasa saya memilih sikap untuk banyak mendengar, apalagi saya perhatikan sepertinya ada banyak hal yang ia ingin sampaikan kepada saya. “Pak Dokter, dulu waktu saya dan keluarga masih menggunakan Jamsostek, saya benar-benar merasa nyaman dan tenang. Setelah integrasi ke BPJS Kesehatan, suasananya berbalik 180 derajat. Saya merasa terombang-ambing dalam banyak ketidakpastian, ketidaktahuan, dan tentu saja ketidakpuasan. Bagaimana menurut Pak Dokter …?”
***
Segmen di atas sebenarnya hanya segelintir keluh kesah publik tentang BPJS yang saya dengar langsung. Namun demikian, jujur saya harus katakan bahwa saya pernah mendengar pula beberapa pengguna BPJS yang menyatakan kepuasannya dalam mendapatkan pelayanan kesehatan maupun pelayanan administratif yang dibutuhkan. Sampai sejauh ini kita belum menjumpai hasil survey nasional tentang kepuasan pengguna BPJS. Tapi, dari kesan umum, kita menangkap isyarat bahwa keluhan ketidakpuasan cenderung lebih banyak dibanding testimoni kepuasan.
Fatwa MUI tentang BPJS belum lama ini, kembali menyedot perhatian publik. Dalam pemberitaan banyak media, termasuk media jejaring sosial, santer diinformasikan bahwa Majelis Ulama Indonesia menetapkan Fatwa Haram terhadap BPJS Kesehatan. Sementara, dalam penelusuran saya ke sumber-sumber terpercaya, Majelis Ulama Indonesia tidak pernah secara eksplisit menyatakan bahwa BPJS HARAM. Dalam fatwanya, MUI hanya menyatakan bahwa dalam BPJS terdapat sejumlah prosedur atau hal yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan dengan sendirinya pengguna/peserta BPJS mayoritas beragama Islam, maka sudah sepantasnya MUI ikut menyoroti dan kalau perlu mengawasi penyelenggaraan BPJS agar tidak keluar dari koridor kaidah kemaslahatan ummat secara menyeluruh. Dalam konteks ini, saya sangat salut kepada Majelis Ulama Indonesia yang sudah dan tampaknya akan terus memberi perhatian khusus pada penyelenggaraan BPJS.
Seperti dimaklumi, dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-5 yang berlangsung di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, 7-10 bulan Juni lalu, Majelis Ulama Indonesia mengkaji secara serius persoalan BPJS Kesehatan ini dalam satu komisi tersendiri yang benar-benar fokus pada Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer). Dari hasil Ijtima Ulama kali inilah keluar Fatwa tentang BPJS itu. Dan saya kira, fatwa MUI tersebut harus disikapi secara positif oleh siapapun, tak terkecuali oleh pihak BPJS.
Bagaimanapun, “monopoli” penyelenggaraan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) oleh BPJS harus diimplementasikan secara bijak agar tidak mudah terjerumus dalam atmosfir arogansi, atau ego institusi yang inproporsional yang berpotensi mengganggu pola-pola relasi koordinasi yang harmonis dengan lembaga atau institusi-institusi terkait lainnya.
Dipandang perlu oleh banyak pihak, bahwa keluarnya Fatwa MUI itu, dapat menjadi katalisator semangat kolektif kebangsaan kita menuju penggagasan secara sungguh-sungguh badan penyelenggara JKN alternatif yang lebih akomodatif terhadap kepentingan ummat, di samping terus melakukan perbaikan-perbaikan pada badan penyelenggara yang sudah ada. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas muslim, sejatinya memang harus ada BPJS yang berbasis Syariah; BPJS yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menenangkan; BPJS yang berdiri kokoh di atas pilar-pilar kemurniaan syariah, yang jauh dari segala sesuatu yang subhat (“abu-abu” atau “remang-remang”).
Jika BPJS dikelola secara syariah, maka akan ada akad yang jelas antara peserta dengan pihak pengelola, apakah berupa akad tijarah (mudharabah), atau akad tabarru (hibah). Yang menarik dalam akad tijarah mudharabah dalam asuransi berbasis syariah adalah potensi bagi hasil yang bisa diterima oleh peserta, mengingat dalam akad tijarah mudharabah dana dari setiap peserta dipilah menjadi dua komponen: dana investasi, dan dana hibah. Dana investasi peserta dikelola lebih lanjut oleh pihak penyelenggara, diinvestasikan di sektor-sektor bisnis yang halal, dan kemudian hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta. Sementara komponen dana hibah dalam asuransi syariah merupakan tabarru (dana sosial) yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan seluruh peserta sebagai cerminan dari prinsip saling tolong menolong (ta’awun) dan prinsip saling menanggung (takaful).
Konsep BPJS saat ini seyogyanya direkonstruksi dan direvitalisasi menuju konsep-konsep syariah. Dengan keyakinan yang sangat tinggi, haqqul yaqiin, bahkan ‘ainul yaqiin, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jika BPJS Kesehatan dikelola sepenuhnya dengan prinsip syariah, bukan hanya orang-orang muslim yang akan tertarik, bahkan yang nonmuslimpun akan berbondong-bondong mengikutinya, karena itulah sejatinya prinsip hakiki keadilan yang paling dirindukan oleh manusia, apapun agama atau keyakinannya…. Hidup MUI, Hidup Indonesia. Wallahua’lam.
Post a Comment for "Urgensi Rekonstruksi dan Revitalisasi BPJS Kesehatan"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.