Baca juga: Kurban dan Takaran Bobot Keimanan Kita
Kamis, 24 September 2015, bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1436 H, saya memilih untuk melaksanakan Sholat ‘Ied di Masjid Raya Puri Peruri Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Khutbah yang disampaikan benar-benar membuat air mata saya meleleh. Usai khutbah, saya menghampiri sang khotib, Drs. H. Anding Mujahidin, MAg, bersalaman dengan beliau, sekaligus menyampaikan salam takzim saya.
Seluruh materi khutbah beliau, dari awal hingga akhir, penuh dengan percikan-percikan hikmah yang benar-benar menyentuh qolbu. Salah satu diantaranya adalah hikmah kekuasaan Allah SWT dalam kisah nyata Nabi Ibrahim as tunduk patuh melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail yang tidak lain adalah putra kesayangan beliau bersama Siti Hajar.
Allahu Akbar... Subhanallah... Ketika Allah mengganti Ismail yang hendak disembelih itu dengan seekor domba besar, Allah hendak memberi pelajaran penting kepada kita bahwa yang harus dibunuh bukan manusia, tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia, bahwa manusia tidak boleh dijadikan tumbal atau korban untuk tujuan apapun, apalagi tujuan yang sarat dengan ambisi duniawi. Kekeliruan banyak manusia sekarang adalah bukan patuh pada perintah Allah, tetapi malah mengorbankan kepatuhan kepada Allah, dan menumbalkan manusia, termasuk anak dan istri demi meraih segala ambisi dan keserakahan duniawi.
Nabi Ibrahim as mengajarkan kepada kita bahwa cinta kepada Allah harus diletakkan di atas cinta-cinta kita kepada selain Allah. Itulah kunci keberkahan, kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, bila cinta kita kepada Allah dikalahkan oleh cinta-cinta kita kepada selain Allah, maka Allah akan menurunkan peringatan dan siksa-Nya kepada kita, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan merugi, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At-Taubah: 24)
Ungkapan “maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya” dimaknai oleh Imam al-Hasan al-Basri dengan “tunggulah siksa dari Allah baik di dunia maupun di akhirat”. Imam Az-Zamakhsyari juga mengingatkan, ancaman dalam ayat di atas sungguh sangat keras. Tak ada ancaman lain yang sekeras itu.
Kepatuhan dan atau ketundukan total Nabi Ibrahim as kepada perintah Allah benar-benar memenuhi seluruh relung hatinya, tanpa ada ruang yang tersisa. Dan inilah puncak mahabbah seorang hamba kepada Allah. Dan sekaligus dari sinilah berawal segala kebaikan, keberkahan, kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.
Demikian salah satu poin yang saya tangkap dari Khutbah Idul Adha yang disampaikan oleh Drs. H. Anding Mujahidin, MAg. (Semoga Allah senantiasa merahmati beliau). Selama beliau menyampaikan khutbahnya kemarin, air mata saya meleleh tak terbendung. Dan dalam lelehan air mata, kupanjatkan rasa syukurku kepada Allah, kusenandungkan sholawat kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Ooh ... duhai, betapa indahnya Islam. Wallahua’lam. (Baca juga: Kurban dan Takaran Bobot Keimanan Kita.
Post a Comment for "Khutbah Idul Adha yang Membuat Air Mata Saya Meleleh"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.