Allah memberi kita kebaikan tidak selamanya harus dalam bentuk yang kita suka. Pun tidak selamanya yang kita suka selalu membawa kebaikan. Semua ini telah terbukti dalam kehidupan, suka atau tidak suka. * La Ode Ahmad
و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ
Bolehjadi kamu tidak suka sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bolehjadi kamu suka sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216)
Suka atau tidak suka, like or dislike, adalah fenomena cita rasa emosional yang sangat lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Keduanya eksis dalam kehidupan kita sebagai bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan itu sendiri.
Bukan kapasitas saya untuk menafsirkan ayat, tentu saja. Dengan segala keterbatasan ilmu, di ruang ini saya hanya ingin berbagi rasa, bahwa sesungguhnya kriteria kebaikan atau keburukan sesuatu tidak ditentukan oleh rasa suka atau tidak suka kita terhadapnya. Sudah sangat sering saya mendengar penuturan dari kawan-kawan seputar pengalaman mereka mengenai suatu kejadian yang pada awalnya tidak disukai, tetapi pada akhirnya mereka terperangah penuh takjub dan syukur sebab terbukti kejadian yang tidak disukai itu ternyata adalah bagian dari pertolongan Allah untuk keselamatan mereka. Karena itu, ketika ayat di atas menggunakan redaksi “bolehjadi”, maka semakin kuat rasa di hati saya untuk menegaskan bahwa tidak sepatutnya kita tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu yang kita hadapi. Ada potensi kebaikan dalam hal yang kita tidak suka, sebagaimana pula ada potensi keburukan dalam hal yang kita suka.
Pertanyaanya, bagaimana cara untuk mengetahui bahwa apa yang sedang kita tidak suka saat ini mengandung kebaikan, atau sebaliknya apa yang sedang kita suka saat ini membawa kepada keburukan? Pertanyaan seperti ini tidak jarang diutarakan meskipun menurut saya tidak penting, sehingga tidak perlu dijawab. Terkait fenomena suka atau tidak suka, like or dislike, persoalan yang paling penting adalah bukan mencari tahu dimana kebaikannya, atau dimana keburukannya, melainkan bagaimana menyikapi kedua rasa itu dengan baik dan benar.
Ketika ayat di atas telah dikunci dengan kalimat “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”, maka itu semua adalah pertanda kuat bahwa kepastian kebaikan atau keburukan dari sesuatu yang kita suka atau tidak suka itu hanya di Tangan Allah. Sekali lagi, tugas kita adalah menyikapi kedua rasa itu dengan baik dan benar agar dalam keadaan apapun kita tidak memperoleh apa-apa selain kebaikan. Karena itu, disini kita bicara tentang kiat mengelola rasa suka atau tidak suka, yang dalam hal ini ada 2 kiat utama.
Pertama, selalu berperasangka baik (husnudzan) kepada Allah dan tentu saja juga kepada seluruh makhluk-Nya. Sikap ini akan sangat menentukan kekuatan kita untuk meraih kebaikan lebih lanjut dari apa yang sedang kita hadapi, suka atau tidak suka. Husnudzan adalah lahan subur bagi tumbuhnya optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Hal yang kita tidak suka itu mungkin bisa berupa kesulitan hidup tertentu. Dengan optimisme yang dibagun dari husnudzan tadi, kita bisa “celupkan” hati kita pada makna ayat berikut ini:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. .إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Dalam beberapa tafsir yang saya baca, redaksi “ma’al usri yusran” dalam ayat di atas memang diartikan “bersama kesulitan ada kemudahan”, bukan “setelah kesulitan ada kemudahan”, karena redaksi ayat tersebut bukan “ba’da ‘usri yusran” melainkan “ma’al ‘usri yusran”. Ini artinya, eksistensi kemudahan adalah sebuah kepastian atau keniscayaan dari setiap kesulitan yang dihadapi.
Mengapa redaksi tentang kesulitan dan kemudahan itu ditegaskan secara berulang? Hanya Allah yang tahu secara pasti. Yang jelas, penegasan secara berulang tersebut selaras dengan fakta bahwa kesulitan dan kemudahan itu akan terus berulang dalam kehidupan di kampung ujian bernama dunia ini.
Kedua, membangun kesabaran dalam pengertian yang sebenarnya. Saksikanlah bahwa makna pokok sabar adalah keteguhan dalam kebenaran. Tak peduli kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang kita suka atau tidak suka, sikap kita harus tetap dalam koridor kebenaran, meskipun ada informasi langit akan segera runtuh misalnya. Pastikan bahwa pijakan kita tidak pernah bergeser dari tapal batas kebenaran. Itulah kesabaran. Ia tidak berbatas. Kalau toh dianggap ada batasnya, maka satu-satunya batas kesabaran adalah kesabaran itu sendiri.
Ketika faktanya kita tidak akan pernah tahu pada awalnya kebaikan atau keburukan apa yang ada di balik rasa suka atau tidak suka kita terhadap sesuatu, karena pengetahuan yang pasti tentang itu hanya Allah saja yang tahu, maka implementasi dari kedua kiat utama di atas adalah sikap senantiasa memohon pertolongan Allah, dengan sabar dan shalat, dalam suasana apapun, sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah: 153). Wallahua’lam.
Post a Comment for "2 Kiat Utama Mengelola Rasa (Tidak) Suka"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.