Sudah menjadi bagian dari sunnatullah saya kira, bahwa senyawa polar hanya mau bergabung dengan senyawa polar; senyawa non polar hanya mau bergabung dengan senyawa non polar. Sebagai senyawa polar, air hanya bisa bergabung dengan senyawa polar lainnya. Begitupun, sebagai senyawa non polar, minyak hanya bisa bergabung dengan senyawa non polar lainnya. Ini saya kira adalah fakta kimiawi yang sudah sangat jelas. Yang belum jelas adalah, apa hubungan semua ini dengan fenomena anomali Ahok? Tulisan ini saya hadirkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Istilah anomali Ahok dalam tulisan ini merujuk pada semua bentuk sikap atau perilaku tidak normal yang ditunjukan oleh Ahok sebagai public figure. Saya tegaskan, saya bicara fenomena Ahok dalam domain public, bukan domain personal dia, atau bukan domain domestic kehidupan rumah tangga Ahok. Yang paling krusial dari anomali ahok adalah penistaan yang ia lakukan terhadap ayat suci Al-Quran baru-baru ini, meskipun kemudian disusul dengan permintaan maaf setelah didahului dengan gelombang protes atau kecaman dari komunitas muslim. Berbagai respon publik terhadap fenomena anomali Ahok hari-hari terakhir ini semakin memperjelas bagaimana polaritas publik sedang terbentuk.
Kalau hati alias kalbu (qolbu) saya umpamakan sebagai entitas senyawa, maka pola persenyawaan antara satu hati dengan hati yang lain akan mengikuti pola dasar kimiawi di atas, bahwa unsur kesamaan polaritaslah yang akan menentukan hati seseorang condong atau berada di kubu yang mana. Kesamaan polaritas ini, dan konsekuensi logis kemudahan atau kecondongan hati bergabung dalam polaritas yang sama, mengingatkan saya pada satu nomenklatur dalam Al-Quran, yakni ba’dhuhum auliya-u ba’dhin, seperti segmen ayat yang saya beri warna merah di bawah ini:
Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal: 73)
Kesamaan polaritas, yang dalam hal ini menggerakkan hati seseorang bergabung di salah satu kubu, adalah kesamaan untuk saling melindungi, atau kesamaan untuk saling menolong:
Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Jaatsiyah: 19)
Fenomena ba’dhuhum auliya-u ba’dhin ini bersifat universal, sehingga dalam kelompok sesama mukmin, terminologi tersebut juga berlaku, sebagaimana ditujukan dalam ayat berikut:
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 71)
Dengan terang benderang tiga ayat di atas memancarkan makna dasar bahwa, di antara sesama yang kafir, di antara sesama yang zalim, dan juga di antara sesama orang-orang yang memiliki iman yang benar, dalam tiap-tiap kelompok itu selalu ada aksi saling melindungi, selalu ada aksi saling menolong, selalu ada aksi saling membela di antara mereka. Maka tidak mengherankan, ketika puncak-puncak anomali Ahok menistakan Al-Quran, lalu gelombang kecaman atas perbuatan tercela itu membuncah di mana-mana, kita saksikan bagaimana barisan pelindung, penolong atau pembela Ahok sibuk mengingkari kebenaran fakta penistaan itu dengan berbagai cara. Bahkan, dalam konteks Pilkada DKI 2017, dimana Ahok berpasangan dengan Djarot, ada pendukung yang secara eufemisme menyatakan bahwa “ya sudah, nanti jangan coblos Ahok ya, coblos Djarot saja”. Ini eufimisme yang sangat sarkastik menurut saya.
Di mana kita di antara polaritas yang ada? Di mana kita di antara kubu-kubu yang ada? Hemat saya, pertanyaan tersebut sudah tidak perlu dijawab lagi, karena media (termasuk medsos) telah mempertontonkan dengan jelas jawaban otentik dari pertanyaan tersebut. Siapa bergabung dengan siapa, atau siapa membela siapa. Ba’dhuhum auliya-u ba’dhin.
Di tengah berbagai gejolak anomali Ahok, paling sedikit masih tersisa tiga prasangka baik saya terhadap dirinya. Pertama, saya berprasangka baik bahwa Ahok adalah salah satu contoh pejabat publik yang tidak korup sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dia korup. Kedua, saya berprasangka baik bahwa permintaan maaf Ahok kepada ummat Islam atas penistaan Al-Quran yang ia lakukan, benar-benar permintaan maaf yang murni dari lubuk hati Ahok, bukan permintaan maaf politis yang tidak murni dari dorongan sukma yang paling dalam. Ketiga, saya berperasangka baik bahwa pasca permintaan maaf Ahok, dia tidak menyimpan niat lagi untuk kembali menyakiti ummat Islam di waktu yang lain.
Akhirnya, saya tidak akan pernah meminta Ahok untuk menjadi seorang muslim, karena ini murni wilayah hidayah. Saya hanya meminta Ahok untuk menjadi orang beragama yang beradab, apapun agama Ahok. Saya banyak mengenal orang-orang yang tidak seakidah dengan saya, tetapi mereka cukup beradab dalam bermuamalah; mereka tidak menyentuh wilayah-wilayah sensitif keyakinan seseorang. Saya yakin, Ahok bisa menjadi lebih baik. Secara etis, permintaan maaf Ahok saya apresiasi, tetapi proses hukum atas penistaan Kitab Suci Al-Quran yang ia lakukan harus berjalan sebagaimana mestinya. Ini yang harus kita kawal. Secara haqqul yaqin, Majelis Ulama Indonesia sudah menegaskan, Ahok telah menistakan Al-Quran. Maka, tinggal menunggu konfirmasi hukum positif. Dengan indikasi penistaan yang sudah sangat kuat itu, saya sangat berharap indikasi tersebut mendapatkan momentum penegasan secara afirmatif dalam hukum positif. Ingat, jangan sampai ada penistaan hukum di dalam Negara yang berdasarkan hukum. Wallahua’lam.
Istilah anomali Ahok dalam tulisan ini merujuk pada semua bentuk sikap atau perilaku tidak normal yang ditunjukan oleh Ahok sebagai public figure. Saya tegaskan, saya bicara fenomena Ahok dalam domain public, bukan domain personal dia, atau bukan domain domestic kehidupan rumah tangga Ahok. Yang paling krusial dari anomali ahok adalah penistaan yang ia lakukan terhadap ayat suci Al-Quran baru-baru ini, meskipun kemudian disusul dengan permintaan maaf setelah didahului dengan gelombang protes atau kecaman dari komunitas muslim. Berbagai respon publik terhadap fenomena anomali Ahok hari-hari terakhir ini semakin memperjelas bagaimana polaritas publik sedang terbentuk.
Kalau hati alias kalbu (qolbu) saya umpamakan sebagai entitas senyawa, maka pola persenyawaan antara satu hati dengan hati yang lain akan mengikuti pola dasar kimiawi di atas, bahwa unsur kesamaan polaritaslah yang akan menentukan hati seseorang condong atau berada di kubu yang mana. Kesamaan polaritas ini, dan konsekuensi logis kemudahan atau kecondongan hati bergabung dalam polaritas yang sama, mengingatkan saya pada satu nomenklatur dalam Al-Quran, yakni ba’dhuhum auliya-u ba’dhin, seperti segmen ayat yang saya beri warna merah di bawah ini:
وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal: 73)
Kesamaan polaritas, yang dalam hal ini menggerakkan hati seseorang bergabung di salah satu kubu, adalah kesamaan untuk saling melindungi, atau kesamaan untuk saling menolong:
وإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Jaatsiyah: 19)
Fenomena ba’dhuhum auliya-u ba’dhin ini bersifat universal, sehingga dalam kelompok sesama mukmin, terminologi tersebut juga berlaku, sebagaimana ditujukan dalam ayat berikut:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚأُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dengan terang benderang tiga ayat di atas memancarkan makna dasar bahwa, di antara sesama yang kafir, di antara sesama yang zalim, dan juga di antara sesama orang-orang yang memiliki iman yang benar, dalam tiap-tiap kelompok itu selalu ada aksi saling melindungi, selalu ada aksi saling menolong, selalu ada aksi saling membela di antara mereka. Maka tidak mengherankan, ketika puncak-puncak anomali Ahok menistakan Al-Quran, lalu gelombang kecaman atas perbuatan tercela itu membuncah di mana-mana, kita saksikan bagaimana barisan pelindung, penolong atau pembela Ahok sibuk mengingkari kebenaran fakta penistaan itu dengan berbagai cara. Bahkan, dalam konteks Pilkada DKI 2017, dimana Ahok berpasangan dengan Djarot, ada pendukung yang secara eufemisme menyatakan bahwa “ya sudah, nanti jangan coblos Ahok ya, coblos Djarot saja”. Ini eufimisme yang sangat sarkastik menurut saya.
Di mana kita di antara polaritas yang ada? Di mana kita di antara kubu-kubu yang ada? Hemat saya, pertanyaan tersebut sudah tidak perlu dijawab lagi, karena media (termasuk medsos) telah mempertontonkan dengan jelas jawaban otentik dari pertanyaan tersebut. Siapa bergabung dengan siapa, atau siapa membela siapa. Ba’dhuhum auliya-u ba’dhin.
Di tengah berbagai gejolak anomali Ahok, paling sedikit masih tersisa tiga prasangka baik saya terhadap dirinya. Pertama, saya berprasangka baik bahwa Ahok adalah salah satu contoh pejabat publik yang tidak korup sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dia korup. Kedua, saya berprasangka baik bahwa permintaan maaf Ahok kepada ummat Islam atas penistaan Al-Quran yang ia lakukan, benar-benar permintaan maaf yang murni dari lubuk hati Ahok, bukan permintaan maaf politis yang tidak murni dari dorongan sukma yang paling dalam. Ketiga, saya berperasangka baik bahwa pasca permintaan maaf Ahok, dia tidak menyimpan niat lagi untuk kembali menyakiti ummat Islam di waktu yang lain.
Akhirnya, saya tidak akan pernah meminta Ahok untuk menjadi seorang muslim, karena ini murni wilayah hidayah. Saya hanya meminta Ahok untuk menjadi orang beragama yang beradab, apapun agama Ahok. Saya banyak mengenal orang-orang yang tidak seakidah dengan saya, tetapi mereka cukup beradab dalam bermuamalah; mereka tidak menyentuh wilayah-wilayah sensitif keyakinan seseorang. Saya yakin, Ahok bisa menjadi lebih baik. Secara etis, permintaan maaf Ahok saya apresiasi, tetapi proses hukum atas penistaan Kitab Suci Al-Quran yang ia lakukan harus berjalan sebagaimana mestinya. Ini yang harus kita kawal. Secara haqqul yaqin, Majelis Ulama Indonesia sudah menegaskan, Ahok telah menistakan Al-Quran. Maka, tinggal menunggu konfirmasi hukum positif. Dengan indikasi penistaan yang sudah sangat kuat itu, saya sangat berharap indikasi tersebut mendapatkan momentum penegasan secara afirmatif dalam hukum positif. Ingat, jangan sampai ada penistaan hukum di dalam Negara yang berdasarkan hukum. Wallahua’lam.
Post a Comment for "Anomali Ahok dan Polaritas Publik"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.