Banjir dan hujan adalah dua kata yang sangat erat hubungannya. Tulisan saya kali ini, mencoba meneropong makna korelatif yang sangat esensial dalam dua kata tersebut (banjir dan hujan) dengan menggunakan anasir-anasir spiritualitas, dalam hal ini spiritualitas hujan, sebelum akhirnya tersingkap makna korelatifnya dengan fenomena banjir. Spiritualitas hujan yang saya maksud dalam tulisan ini adalah dimensi cakrawala pengetahuan wahyu samawi tentang hujan yang terkodifikasi dengan baik dalam Kitab Suci (Al-Quran).
Para saintis sepakat, bahwa pengetahuan yang memadai tentang proses pembentukan hujan baru mulai diketahui dengan baik setelah radar cuaca ditemukan. Riset awal mengenai cikal bakal radar dilakukan pada tahun 1915 oleh seorang ilmuwan Skotlandia bernama Robert Watson-Watt. Sementara itu, terminologi Radar (Radio Detection and Ranging ) pertama kali digunakan pada tahun 1941, menggantikan terminologi RDF (Radio Directon Finding) yang digunakan sebelumnya.
Dengan teknologi pencitraan radar diketahui bahwa proses pembentukan hujan melewati tiga tahap, yakni tahap pembentukan angin; tahap pembentukan awan; dan tahap aliran hujan dari angkasa. Fakta ini seperti membasuh dengan lembut hati orang-orang beriman, karena 14 abad sebelum fakta tersebut tersingkap melalui pencitraan radar, Al-Quran sudah menerangkannya dengan sangat cermat:
Subhanallah. Masya Allah. Tatkala proses sekuens terjadinya hujan baru diketahui dengan baik pada awal abad ke-20, sementara 14 abad sebelumnya proses sekuens itu sudah terkodifikasi dengan baik dalam Al-Quran, maka seharusnya fakta tersebut ikut menutup rapat-rapat semua pintu keraguan tentang Al-Quran sebagai Firman Allah. Subhanallah. Pertanyaannya kemudian adalah, dimana esensi korelasi antara proses sekuens hujan dengan kejadian banjir? Mari kita lihat.
Setiap tahun rata-rata 45 miliar liter kubik air menguap dari lautan. (Jika volume tersebut meragukan, saya persilahkan untuk melakukan pengukuran sendiri saja ya. Hehehe). Air yang menguap tersebut dibawa oleh angin melintasi sejumlah kawasan dalam bentuk awan. Dengan keseimbangan siklus hidrologis, maka 45 miliar liter kubik air yang menguap dari lautan itu akan kembali lagi ke bumi sebanyak volume tersebut.
Bagaimanapun, variasi curah hujan di suatu kawasan berbanding lurus dengan fakta kekuasaan-Nya yang mutlak dalam menggerakkan awan ke lokasi yang dikehendaki-Nya. Maka, dengan jumlah air yang sama setiap tahunnya, wilayah distribusi kejadian banjir bisa berbeda dari tahun ke tahun. Jika Allah mau, awan-awan yang mengandung air itu bisa saja diposisikan hanya berada di kawasan yang sejajar dengan lautan, sehingga hujan yang turun langsung tercurah ke lautan tanpa melewati daratan. Jika ini dilakukan, maka tidak akan pernah terjadi banjir di daratan, tetapi sekaligus juga daratan akan menjadi kering kerontang karenanya, bahkan bisa mematikan seluruh makhluk hidup yang ada. Dengan keyakinan yang sama, wilayah daratan bisa ditenggelamkan-Nya seketika dengan 45 miliar liter kubik air itu hanya dengan menempatkan awan-awan hujan pada posisi yang sejajar dengan wilayah daratan tertentu saja.
Karena kasih sayang-Nya yang tak terhingga, kedua probabilitas ekstrim itu tidak dilakukan-Nya. Yang terjadi adalah, hujan diturunkan-Nya dalam takaran volume total yang sudah tetap dalam kerangka siklus hidrologis, dengan cakupan wilayah hujan yang terdistribusi sepenuhnya dalam kebijaksanaan-Nya, sekaligus dalam kasih sayang-Nya. Dengan cara pandang ini, maka banjir sebenarnya hanya membawa satu isyarat saja, yakni isyarat kerusakan alam. Ketika wilayah kawasan resapan menjadi berkurang dan atau rusak oleh tangan-tangan jahil manusia, maka hujan dengan takaran volume total yang tetap, akan selalu menghadirkan banjir, atau potensi banjir. Allah menurunkan hujan dalam batas-batas takaran kasih sayang-Nya, tetapi manusia memperlakukan alam di luar batas-batas takaran kemanusiaan. Alam dikelola bukan dengan penuh kebijaksanaan, melainkan dengan penuh keserakahan.
Bagaimana dengan Banjir Jakarta?
Dengan takdir topografi alam yang jauh lebih rendah dibanding wilayah-wilayah sekitarnya, maka siapapun Gubernur Jakarta, selama ekologi kawasan penyanggah di sekitarnya telah rusak oleh tangan-tangan serakah, banjir akan selalu mengalir melewati wilayah yang dulu bernama Batavia itu, tanpa memandang siapapun gubernurnya.
Dosa para perusak alam, bukan hanya karena mereka melakukan perbuatan merusak itu sendiri, melainkan juga karena menyengsarakan hidup orang-orang yang tak pernah ikut dalam lingkaran perbuatan merusak alam tetapi ikut terpapar oleh dampak buruknya. Maka, insaflah wahai para perusak alam!!! Wallahua’lam.
Para saintis sepakat, bahwa pengetahuan yang memadai tentang proses pembentukan hujan baru mulai diketahui dengan baik setelah radar cuaca ditemukan. Riset awal mengenai cikal bakal radar dilakukan pada tahun 1915 oleh seorang ilmuwan Skotlandia bernama Robert Watson-Watt. Sementara itu, terminologi Radar (Radio Detection and Ranging ) pertama kali digunakan pada tahun 1941, menggantikan terminologi RDF (Radio Directon Finding) yang digunakan sebelumnya.
Dengan teknologi pencitraan radar diketahui bahwa proses pembentukan hujan melewati tiga tahap, yakni tahap pembentukan angin; tahap pembentukan awan; dan tahap aliran hujan dari angkasa. Fakta ini seperti membasuh dengan lembut hati orang-orang beriman, karena 14 abad sebelum fakta tersebut tersingkap melalui pencitraan radar, Al-Quran sudah menerangkannya dengan sangat cermat:
اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya. (QS. Ar-Ruum: 48)Subhanallah. Masya Allah. Tatkala proses sekuens terjadinya hujan baru diketahui dengan baik pada awal abad ke-20, sementara 14 abad sebelumnya proses sekuens itu sudah terkodifikasi dengan baik dalam Al-Quran, maka seharusnya fakta tersebut ikut menutup rapat-rapat semua pintu keraguan tentang Al-Quran sebagai Firman Allah. Subhanallah. Pertanyaannya kemudian adalah, dimana esensi korelasi antara proses sekuens hujan dengan kejadian banjir? Mari kita lihat.
Setiap tahun rata-rata 45 miliar liter kubik air menguap dari lautan. (Jika volume tersebut meragukan, saya persilahkan untuk melakukan pengukuran sendiri saja ya. Hehehe). Air yang menguap tersebut dibawa oleh angin melintasi sejumlah kawasan dalam bentuk awan. Dengan keseimbangan siklus hidrologis, maka 45 miliar liter kubik air yang menguap dari lautan itu akan kembali lagi ke bumi sebanyak volume tersebut.
Bagaimanapun, variasi curah hujan di suatu kawasan berbanding lurus dengan fakta kekuasaan-Nya yang mutlak dalam menggerakkan awan ke lokasi yang dikehendaki-Nya. Maka, dengan jumlah air yang sama setiap tahunnya, wilayah distribusi kejadian banjir bisa berbeda dari tahun ke tahun. Jika Allah mau, awan-awan yang mengandung air itu bisa saja diposisikan hanya berada di kawasan yang sejajar dengan lautan, sehingga hujan yang turun langsung tercurah ke lautan tanpa melewati daratan. Jika ini dilakukan, maka tidak akan pernah terjadi banjir di daratan, tetapi sekaligus juga daratan akan menjadi kering kerontang karenanya, bahkan bisa mematikan seluruh makhluk hidup yang ada. Dengan keyakinan yang sama, wilayah daratan bisa ditenggelamkan-Nya seketika dengan 45 miliar liter kubik air itu hanya dengan menempatkan awan-awan hujan pada posisi yang sejajar dengan wilayah daratan tertentu saja.
Karena kasih sayang-Nya yang tak terhingga, kedua probabilitas ekstrim itu tidak dilakukan-Nya. Yang terjadi adalah, hujan diturunkan-Nya dalam takaran volume total yang sudah tetap dalam kerangka siklus hidrologis, dengan cakupan wilayah hujan yang terdistribusi sepenuhnya dalam kebijaksanaan-Nya, sekaligus dalam kasih sayang-Nya. Dengan cara pandang ini, maka banjir sebenarnya hanya membawa satu isyarat saja, yakni isyarat kerusakan alam. Ketika wilayah kawasan resapan menjadi berkurang dan atau rusak oleh tangan-tangan jahil manusia, maka hujan dengan takaran volume total yang tetap, akan selalu menghadirkan banjir, atau potensi banjir. Allah menurunkan hujan dalam batas-batas takaran kasih sayang-Nya, tetapi manusia memperlakukan alam di luar batas-batas takaran kemanusiaan. Alam dikelola bukan dengan penuh kebijaksanaan, melainkan dengan penuh keserakahan.
Bagaimana dengan Banjir Jakarta?
Dengan takdir topografi alam yang jauh lebih rendah dibanding wilayah-wilayah sekitarnya, maka siapapun Gubernur Jakarta, selama ekologi kawasan penyanggah di sekitarnya telah rusak oleh tangan-tangan serakah, banjir akan selalu mengalir melewati wilayah yang dulu bernama Batavia itu, tanpa memandang siapapun gubernurnya.
Dosa para perusak alam, bukan hanya karena mereka melakukan perbuatan merusak itu sendiri, melainkan juga karena menyengsarakan hidup orang-orang yang tak pernah ikut dalam lingkaran perbuatan merusak alam tetapi ikut terpapar oleh dampak buruknya. Maka, insaflah wahai para perusak alam!!! Wallahua’lam.
Post a Comment for "Banjir dan Spiritualitas Hujan"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.