Publik kembali dikejutkan dengan informasi pembekuan izin edar obat Albothyl oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) beberapa hari lalu menyusul hasil kajian atas sejumlah laporan kasus yang diduga berkaitan erat dengan penggunaan obat tersebut. Keterangan resmi yang dipublikasikan oleh BPOM menyebutkan bahwa, terkait pemantauan Albothyl, dalam 2 tahun terakhir ini BPOM menerima 38 laporan kasus dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan, diantaranya efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi (noma like lession). Kajian terhadap laporan tersebut yang dilakukan oleh BPOM bersama ahli-ahli farmakologi dari sejumlah perguruan tinggi beserta klinisi dari organisasi profesi terkait, seluruhnya mengerucut pada satu keputusan, yakni membekukan izin edar Albothyl dalam bentuk cairan obat luar konsentrat hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui.
Selain Albothyl, seluruh obat yang memiliki kandungan zat aktif yang sama dengan Albothyl, yakni sama-sama mengandung policresulen mengalami nasib yang sama, yaitu dibekukan izin edarnya, dan BPOM sekaligus memerintahkan industri farmasi yang memproduksi obat-obat tersebut untuk menarik produk bermasalah itu dari peredaran, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkannya surat keputusan pembekuan izin edar. Selain itu, BPOM menghimbau kepada seluruh profesi kesehatan dan masyarakat untuk menghentikan penggunaan obat-obat tersebut.
Seperti yang dilansir dalam situs resmi BPOM, ada 4 (empat) jenis obat yang mengandung policresulen yang dalam hal ini telah resmi dibekukan izin edarnya di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
- Albothyl, produksi PT. Pharos Indonesia;
- Medisio, produksi PT. Pharos Indonesia (dengan nama perusahaan pendaftar PT. Faratu Indonesia);
- Prescotide, produksi PT. Novel Pharmaceutical Laboratories; dan
- Aptil, produksi PT. Pratapa Nirmala.
Pembekuan izin edar obat-obat di atas sejatinya harus semakin memperkuat keyakinan kita semua bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali di bidang farmakologi, seluruhnya benar-benar hanya menyentuh ranah kebenaran relatif. Pelajaran ini sudah lebih dari cukup untuk mencegah segala bentuk keangkuhan siapapun atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi, di hadapan eksistensi Kebenaran Mutlak dari Zat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Pelajaran ini tidak berarti bahwa kebenaran relatif itu tidak penting. Kebenaran relatif tetap memiliki kepentingan besar, selama pada akhirnya mengarahkan kesadaran dan sekaligus ketundukan kita secara total pada sumber kebenaran mutlak.
Peredaran Albothyl di Indonesia sudah berlangsung lebih kurang 35 tahun. Dengan kata lain, relativitas kebenaran indikasi farmakologis penggunaan Albothyl sudah berlangsung hampir 4 dasawarsa, dan hari ini kita sama-sama menyaksikan betapa kebenaran relatif itu bukan saja dibuktikan relativitasnya, tetapi sekaligus juga dibuktikan potensi negativitasnya.
Pelajaran berharga di atas patut menjadi perhatian publik agar tidak terjadi bias baru dalam menyikapi pembekuan izin edar obat Albothyl dan obat lain yang sejenis. Tidak sepatutnya menuding BPOM sebagai intitusi yang kecolongan dalam kasus pembekuan izin Albothyl ini, seperti yang dituduhkan segelintir kalangan. Masa edar Albothyl yang sudah berlangsung tidak kurang dari 35 tahun, tidak bisa dijadikan sebagai dasar argumen untuk menyudutkan BPOM sebagai lembaga yang lalai melaksanakan tugas pokoknya selama ini, khususnya terkait dengan pengawasan obat Albothyl. BPOM bukan lembaga yang beranggotakan para malaikat. Lebih-lebih, BPOM bukan Tuhan (atau bukan Allah) yang mengetahui secara pasti kebaikan dan keburukan sesuatu tanpa membutuhkan proses pengujian atau pembuktian terlebih dahulu.
BPOM bekerja dan/atau mengambil sikap berdasarkan bukti-bukti (evidence base), bukan berdasarkan prasangka-prasangka. BPOM tidak mungkin membekukan lebih awal izin edar suatu obat yang tidak ada laporan kasus dampak negatif terkait dengan penggunaan obat tersebut. Sebelumnya, BPOM juga tidak akan gegabah mengeluarkan izin edar suatu obat tanpa dukungan evidence base yang memadai untuk itu. Setelah obat memiliki izin edar, lalu dipasarkan dan digunakan secara luas, maka masih tetap ada tiga kemungkinan (probabilitas) yang bisa terjadi:
Perhatikanlah bahwa dalam konteks ini sampai kapanpun kita akan bicara kemungkinan atau probabilitas, karena memang sekali lagi ini adalah ranah kebenaran relatif. Ketika ahli-ahli di bidang farmakologi sudah menerapkan prinsip-prinsip kebaikan, keamanan atau keselamatan dalam melaksanakan tugas-tugas pokok mereka di bidang ini, termasuk ketika BPOM sudah mengeluarkan izin edar suatu obat melalui prosedur yang ketat, maka jika dalam perjalanan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan pada obat tersebut misalnya, cukuplah hal itu menyadarkan kita akan kebenaran relatif itu sendiri. Dalam kaidah fikih pemikiran, kita mengenal istilah, bahwa jika ulama berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika berijtihad dan ternyata salah, maka ia mendapat satu pahala. Subhanallah, itulah salah satu wujud kasih sayang Allah pada makhluk-makhluknya yang tercipta dengan penuh kelemahan. Maka, bagaimana bisa kita saling menyalahkan di ranah kebenaran relatif ini, sementara Tuhan saja menunjukan wujud nyata kasih sayang-Nya.
Sebagai penutup, relativitas kebenaran dalam konteks ini dapat saya simpulkan secara singkat dengan sebuah ungkapan: pada awalnya Albothyl bisa bermanfaat bisa pula merugikan; berbeda dengan Al-Bathil (kebatilan) yang dari awal hingga akhir pasti tidak ada manfaatnya. Wallahua’lam.
- obat tersebut tetap diizinkan untuk digunakan sesuai dengan indikasi awal karena tidak ditemukan efek yang merugikan;
- obat tersebut dibekukan izin edarnya dan sekaligus ditarik dari peredaran karena menimbulkan efek yang merugikan; atau
- obat tersebut memiliki tambahan efek positif baru yang tidak diketahui di awal. Obat yang termasuk dalam probabilitas yang ketiga ini kemudian diteliti lebih lanjut sesuai dengan standar-standar protokol uji klinik yang berlaku, sebelum akhirnya diijinkan penggunaannya untuk indikasi baru tersebut. Salah satu contoh obat yang masuk dalam probabilitas ketiga ini adalah obat golongan salisilat yang semula diketahui sebagai antireumatik dan anti piretik, ternyata belakangan diketahui pula memiliki efek urikosurik dan antiplatelet.
Perhatikanlah bahwa dalam konteks ini sampai kapanpun kita akan bicara kemungkinan atau probabilitas, karena memang sekali lagi ini adalah ranah kebenaran relatif. Ketika ahli-ahli di bidang farmakologi sudah menerapkan prinsip-prinsip kebaikan, keamanan atau keselamatan dalam melaksanakan tugas-tugas pokok mereka di bidang ini, termasuk ketika BPOM sudah mengeluarkan izin edar suatu obat melalui prosedur yang ketat, maka jika dalam perjalanan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan pada obat tersebut misalnya, cukuplah hal itu menyadarkan kita akan kebenaran relatif itu sendiri. Dalam kaidah fikih pemikiran, kita mengenal istilah, bahwa jika ulama berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika berijtihad dan ternyata salah, maka ia mendapat satu pahala. Subhanallah, itulah salah satu wujud kasih sayang Allah pada makhluk-makhluknya yang tercipta dengan penuh kelemahan. Maka, bagaimana bisa kita saling menyalahkan di ranah kebenaran relatif ini, sementara Tuhan saja menunjukan wujud nyata kasih sayang-Nya.
Sebagai penutup, relativitas kebenaran dalam konteks ini dapat saya simpulkan secara singkat dengan sebuah ungkapan: pada awalnya Albothyl bisa bermanfaat bisa pula merugikan; berbeda dengan Al-Bathil (kebatilan) yang dari awal hingga akhir pasti tidak ada manfaatnya. Wallahua’lam.
Post a Comment for "Pelajaran Berharga dari Kasus Pembekuan Izin Edar Obat Albothyl"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.