Nyaris setiap hari ada berita (dan/atau cerita) tentang perselingkuhan. Saya melihat, persoalannya tidak sebatas pada perkara perselingkuhan an sich, tetapi ternyata merembet pula pada persoalan persepsi tentang perselingkuhan itu sendiri. Hati bagaikan tersayat sembilu sebenarnya, tatkala fakta yang ada menunjukan tidak sedikit yang berpendapat bahwa "selingkuh itu indah". Fakta ini bisa kita hubungkan dengan kebenaran tak terbantahkan bahwa memang benar-benar neraka dikelilingi dengan hal-hal yang disenangi nafsu, sementara surga dikelilingi dengan hal-hal yang dibenci nafsu. Huffatil jannatu bilmakaarih, wa huffatinnaaru bisy-syahawaati.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ. وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci nafsu, sementara neraka dikelilingi oleh hal-hal yang disenangi nafsu (HR. Tirmidzi No. 2482. Menurut Abu Isa, Hadits tersebut dikategorikan Hasan Gharib Shahih)
Entah, kita harus berkata apa lagi dengan fakta-fakta seperti di bawah ini:
Gambar/Foto: Huffingtonpost |
Merebaknya persepsi bahwa "selingkuh itu indah" sejatinya adalah lonceng kematian sakralitas perkawinan, khususnya bagi para pelaku perselingkuhan, dan itu adalah pertanda runtuhnya sendi-sendi paling dasar dari institusi keluarga yang mereka bangun. Semula saya pribadi sempat berpikir dengan penuh rasa tanda tanya, adakah perselingkuhan ini berbanding lurus dengan adanya "pembatasan syar'i" untuk melakukan poligami? Belakangan saya mendapatkan jawaban yang meyakinkan, bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara kedua hal itu. Salah satu testimoni seorang istri yang mempersilahkan suaminya untuk menikahi rekan selingkuhannya, justru sang suami menolak mentah-mentah dengan alasan yang pasti membuat orang-orang waras akan terperangah: "kalau saya hanya ingin menikmati sate kambing", kata sang suami, "saya tidak perlu berpikir untuk memelihara kambing". Astaghfirullah. Na'uzubillahimindzalik.
Laki-laki yang gemar berselingkuh bukanlah laki-laki yang bertanggungjawab, dan laki-laki yang tidak bertanggungjawab tidak mungkin akan mampu mengemban amanah luhur poligami. Jika toh akhirnya dia berpoligami, maka tidak ada jaminan dia akan berhenti dari perselingkuhan dengan yang lain lagi. Di sini saya ingin mengatakan, bahwa kesucian dan keluhuran ajaran poligami jangan sampai dikotori dengan kepalsuan motif busuk seksualitas lelaki-lelaki bejat hamba syahwat. Perselingkuhan adalah kesepakatan jahat para pemabok "ekstasi seksual" yang mejadikan syahwat-syahwat liar mereka sebagai "pusat gravitasi" relasi-relasi amoral itu.
Jangan kaget kalau tiba-tiba saya katakan bahwa trend peningkatan kasus perselingkuhan berjalan beriringan dengan trend peningkatan kasus AIDS (Acquired Immuno Defficiency Syndrom). Dari banyak media yang memberitakan tentang kasus tersebut, saya mencoba mengambil salah satu diantaranya yang disorot oleh Harian Pikiran Rakyat sebagaimana screenshoot berikut:
Celakanya, jumlah kasus AIDS di Indonesia saat ini lebih banyak dijumpai pada Ibu Rumah Tangga. Perhatikan baik-baik diagram di bawah ini. Dari 50.340 kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan melalui Aplikasi SIHA (Sistem Informasi HIV/AIDS) Kementerian Kesehatan RI hingga Triwulan Pertama Tahun 2017, jumlah kasus AIDS pada Ibu Rumah Tangga menempati urutan pertama terbanyak (12.302 kasus), disusul kasus AIDS pada Karyawan (11.744 kasus), Wiraswasta (11.176 kasus), Petani/Peternak/Nelayan (4.062 kasus), Buruh Kasar (3.840 kasus), Penjaja Seks (2.963 kasus), Pegawai Negeri Sipil (2.219 kasus), dan Pelajar/Mahasiswa (2.034 kasus).
Perlu ada penelitian lebih lanjut, mengapa kasus AIDS banyak terjadi pada Ibu Rumah Tangga, tetapi dengan berat hati saya mohon izin menyampaikan hipotesis saya, bahwa kenyataan pahit tersebut tidak terlepas kaitan problematiknya dengan kegemaran para suami melakukan perselingkuhan di luar, dan apa yang dialami oleh istri sah mereka di rumah , itulah "oleh-oleh"-nya: HIV/AIDS.
Terkait hipotesis di atas, mungkin timbul pertanyaan, jika sumber penular utama kasus AIDS pada Ibu Rumah Tangga adalah suami mereka yang gemar berselingkuh, bukankah seharusnya jumlah kasus AIDS pada laki-laki lebih tinggi dibanding pada perempuan? Penelusuran saya dari sumber data yang sama, yakni SIHA, menunjukan secara jelas bahwa rasio kasus AIDS pada laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (dua banding satu). Artinya, meskipun menurut pekerjaan/status, Ibu Rumah Tangga yang tertinggi, tetapi keseluruhan kasus AIDS di luar Ibu Rumah Tangga didominasi oleh kaum laki-laki. Dari 38.038 kasus AIDS di luar Ibu Rumah Tangga, kasus AIDS pada laki-laki 2 kali lebih banyak. Saya kira ini sekaligus mengukuhkan fakta bahwa laki-lakilah yang paling aktif secara seksual dalam patologi perselingkuhan. Dengan kata lain, jika perempuan juga salah dalam setiap kasus perselingkuhan, maka laki-laki dua kali lebih salah. Bagaimanapun, "kunci pengaman" dan/atau "kunci pembobol" keutuhan dan ketahanan rumah tangga ada di tangan laki-laki. Keyakinan itu saya jabarkan dari ketentuan dasar bahwa "arrijaalu qowwamuuna 'alannisaa".
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS. An-Nisa: 34)
Dengan perspektif pemaknaan seperti di atas, maka dibalik trend peningkatan kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun, saya melihat bahwa sejatinya bukan HIV/AIDS yang menjadi masalah pokok kita. Masalah pokok kita justru adalah perselingkuhan. Sehingga, ketika patologi perselingkuhan terus merajalela, dan pada saat yang sama kasus HIV/AIDS terus melambung, maka secara substansial kita sesungguhnya sedang berhadapan dengan persoalan darurat perselingkuhan, bukan darurat HIV/AIDS karena yang terakhir ini lebih sebagai problem ikutan. Oleh karena itu, ungkapan singkat yang saya pilih untuk menutup catatan kecil saya kali ini adalah: BERTOBATLAH !!!
Post a Comment for "Memaknai Darurat Perselingkuhan Saat Ini"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.