Istilah Pelakor, akhir-akhir ini cukup populer dalam perbincangan banyak orang, terutama di kalangan ibu-ibu. Perbincangan di dunia maya, Pelakor menjadi salah satu hot topic yang nyata, terlepas dari apakah topik tersebut menjadi bagian dari pengalihan isu atau tidak. Saat artikel ini mulai saya tulis (Jumat 03 Maret 2018 Pukul 16:00 WIB), diksi “pelakor” yang coba saya inputkan dalam Google Search menunjukan, ada sekitar 2,72 juta hasil pencarian yang merujuk pada kata tersebut, sementara diksi “poligami” berada diangka 0,98 juta hasil searching. Saya tidak ingin mengatakan (sekali lagi saya tidak ingin mengatakan) bahwa perbedaan hasil jumlah searching tersebut serta merta menjadi isyarat bahwa hidup dalam jeratan Pelakor lebih digandrungi di masyarakat dibanding hidup dalam batas-batas koridor poligami yang benar atau yang beradab.
Foto: Health line
Istilah Pelakor yang saya angkat dalam tulisan ini adalah Pelakor yang saya pahami sesuai batasan yang sudah popular lebih awal, yaitu sebagai akronim dari “perebut laki orang”. Bahwa ada kepanjangan lain yang berbeda dengan itu, yakni Pelakor sebagai “pelaku korupsi” misalnya, itu berada di luar definisi yang saya gunakan, meskipun antara keduanya, “perebut laki orang” dan “pelaku korupsi”, sama-sama berkonotasi negatif sekaligus destruktif dalam kehidupan; keduanya mencerminkan kejahatan kemanusiaan; keduanya memiliki persamaan makna secara substansial, yakni sama-sama mengandung unsur perbuatan “mengambil sesuatu yang bukan haknya”.
Pelakor berkonotasi negatif, karena dalam pemahaman saya fakta yang terjadi sebenarnya adalah cermin retak dari sebuah perselingkuhan antara perempuan-perempuan “gatal” dengan lelaki-lelaki bejat beristri yang tidak bisa menahan diri untuk “menggaruk” perempuan-perempuan yang “gatal” itu. Saat perselingkuhan itu berujung pada pernikahan yang sah, maka berakhirlah penggunaan istilah Pelakor, berubah menjadi poligami, tetapi poligami yang ternoda. Lelaki yang telah beristri lebih dari satu itu, telah menjadi “milik” bersama istri-istrinya, tetapi karena melalui proses “perebutan” yang diawali dengan perselingkuhan, maka poligami seperti itu lebih sering penuh dengan sengketa, dan itulah yang saya maksud dengan poligami yang ternoda.
Berbeda dengan Pelakor, Poligami adalah ajaran yang tidak diragukan lagi kebenarannya sekaligus kemaslahatannya, hanya saja tidak sembarang orang layak untuk melakukannya, karena ia dibatasi oleh adab-adab atau aturan-aturan yang ketat, agar tidak setiap hasrat untuk berpoligami serta merta harus selalu diwujudkan. Pandangan saya tentang Poligami sedikit banyak sudah saya jabarkan dalam artikel saya sebelumnya berjudul : Pagar Pembatas Poligami dalam Islam. (Silahkan klik tautan tersebut untuk membaca lebih lanjut).
Yang kemudian ingin saya katakan dalam catatan kecil saya kali ini adalah, bahwa Pelakor merupakan sosok perempuan yang tidak akan pernah efektif dalam melancarkan aksinya selama laki-laki sasarannya tidak pernah memberi peluang untuk itu. Artinya, di mata saya, “keberhasilan” pelakor merebut sasarannya adalah hasil dari sebuah “kerjasama” yang disepakati kedua belah pihak dalam sebuah “nota perselingkuhan”. Selalu ada cinta “segitiga maut” dalam sebuah perselingkuhan, dimana yang ketiga tidak lain dan tidak bukan adalah setan yang sangat lihai memainkan perannya dalam memperdaya setiap anak adam, khususnya yang melonggarkan ikatan-ikatan proteksi diri dan kehormatannya. Musuh nyata manusia itu mampu menjadikan manusia yang terbuai dalam kelalaian itu memandang indah kemaksiatan.
وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ
Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan (buruk) mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah) [QS. An-Naml: 24]
Dengan kelihaian setan, hubungan yang berduri-duri bisa terasa sebagai hubungan yang berbunga-bunga. Populernya ungkapan “selingkuh itu indah” sebenarnya memang tidak keluar dari konteks makna ayat di atas. Dan tidak jarang, keutuhan mahligai rumah tangga terkoyak oleh kepalsuan persepsi keindahan-keindahan eksternal yang telah terdistorsi itu. Saat artikel ini saya tulis, popularitas kata “selingkuh” melampauai kata “nikah resmi” di Google Search Engine, yakni 12,5 juta untuk yang pertama, dan 9,96 juta untuk kata yang kedua.
Jika semua relasi lawan jenis yang terjadi dibangun dengan cinta, maka hanya cinta dalam keimananlah yang akan menguatkan segala simpul-simpul ikatannya; cinta dalam keimananlah yang akan mengokohkan benteng-benteng pertahanan diri dan keluarga; cinta dalam keimananlah yang akan memelihara monogami maupun poligami yang benar. Karena, cinta dan keimanan laksana dua sayap burung. Dan dengan dua sayap itulah, kata Imam Hasan Al-Banna, Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Cinta tanpa keimanan, dan begitu pula keimanan tanpa cinta, laksana sayap-sayap patah. Di sanalah berbagai tragedi kemanusiaan itu akan muncul. Na’uzubillahi mindzalik.
Akhirnya, ketika kehidupan di akhir zaman ini telah melahirkan banyak Pelakor yang bergentayangan, dan karenanya kita terkepung dari segala penjuru mata angin, maka satu pilihan yang bisa kita lakukan adalah memperkuat benteng pertahanan dari 3 (tiga) arah: Dari atas, kita menjaga pandangan. Dari bawah, kita menjaga kemaluan. Dan dari tengah, kita menjaga hati. Wallahua’lam. (Baca juga: Kiat Menjaga Pandangan)
Post a Comment for "Pelakor dan Poligami yang Ternoda"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.