Akhir-akhir ini publik ramai memperbincangkan sebuah ungkapan “Kitab Suci itu Fiksi”. Ungkapan ini kemudian berkembang lebih lanjut melahirkan sebuah kontroversi pemaknaan dengan argumentasi yang beragam antara yang mendukung atau menyetujui ungkapan tersebut maupun yang tidak menyetujuinya. Penafsiran demi penafsiran atas ungkapan itu dengan sangat mudah tersebar di berbagai media, dan yang memberikan penafsiran bisa dikatakan mewakili seluruh lapisan masyarakat, dari tingkat awam hingga tingkat yang merepresentasikan level akademis tertinggi, termasuk penafsiran dari seorang Profesor yang kemudian diikuti dengan sikap penerimaan secara afirmatif oleh beberapa kalangan.
Sumber Foto: Media Banten |
Bicara kitab suci, selain Al-Quran kita mengenal pula Injil atau Al-Kitab bagi Agama Kristen atau Katolik, ada Tri Pitaka bagi Agama Budha, ada Weda bagi Agama Hindu, ada Si Shu Wu Ching bagi Agama Kong Hu Cu. Hingga artikel ini saya tulis, dalam kontroversi yang berkembang saya tidak melihat determinasi definitif tentang “kitab suci” yang dimaksud dalam ungkapan “Kitab Suci itu Fiksi”. Mengingat semua agama memiliki kitab suci, dan tidak semua kitab suci bersifat samawi (wahyu yang diwahyukan dari Sang Pencipta, Pemilik dan Penguasa Alam Semesta), maka ungkapan “Kitab Suci itu Fiksi” akan selalu terombang ambing dalam ranah pemaknaan yang absurd.
Berbeda jika ungkapannya langsung menyebut Kitab Suci Al-Quran misalnya. Bahwa jika Al-Quran dimaknai sebagai sebuah Fiksi, maka bukan saja ungkapan itu sebuah kesalahan fatal, atau sebuah pemaknaan yang sangat distortif, tetapi sekaligus juga berarti bahwa yang menyatakannya tergolong orang yang mengalami disorientasi semantik dan bahkan disorientasi teologis. Ungkapan “Kitab Suci itu Fiksi” hanya bisa dibenarkan jika dan hanya jika kitab suci yang dimaksud bukan kitab suci yang bersifat samawi yang originalitasnya tetap terjaga dari awal diwahyukan hingga kini dan selamanya. Sambil tetap berusaha menghormati penganut berbagai agama, saya harus katakan secara tegas bahwa satu-satunya kitab suci yang memenuhi kriteria terakhir, yakni wahyu yang diwahyukan dan sekaligus originalitasnya tetap terjaga dari awal hingga akhir, hanyalah Al-Quran. Dan Al-Quranlah satu-satunya kitab suci yang mengabadikan originalitas substansi kitab suci kitab suci agama samawi yang pernah diturunkan, apakah itu Injil, Taurat, maupun Zabur.
Maka, ketika ada yang mempertanyakan secara sinis, mengapa orang yang mengatakan “Kitab Suci itu Fiksi” tidak didemo, maka jawabannya adalah karena memang ada sejumlah kitab suci non-samawi yang bisa dimaknai sebagai sebuah fiksi, dengan catatan khusus bahwa fiksi sedikitpun tidak memiliki kemiripan makna dengan fiktif, karena fiktif lebih condong kepada (dan bahkan menjadi bagian dari) sebuah kebohongan, sementara fiksi adalah di luar domain itu. Fiksi adalah bagian dari karya sastra naratif yang meskipun lebih banyak bersifat imajiner, namun tetap mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas dan kebenaran. Hanya saja, kebenaran dalam ranah fiksi mengandung relativitas sekaligus subjektivitas yang sangat tinggi, tergantung siapa yang menulis atau menyusunnya. Karakteristik fiksi semacam itu bisa saja sesuai dengan kitab suci non-samawi manapun, tetapi sama sekali tidak layak disandingkan dengan kitab suci samawi yang masih terjaga originalitasnya hingga kini dan selamanya dengan muatan kebenaran yang tentu saja bersifat absolut, sekaligus suprematif, bukan relatif-subjektif.
Baca juga:
Baca juga:
Post a Comment for "Fiksi dan Distorsi Pemikiran Tentang Kitab Suci"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.