"Saya memang memilih melanggar aturan Judo, karena saya ingin tetap mempertahankan prinsip hidup saya" , Miftahul Jannah, Atlet Judo, Aceh
Ramai menjadi perbincangan di medsos, sikap Atlet Judo Miftahul Jannah yang didiskualifikasi dalam arena laga Asian Para Games baru-baru ini. Diskualifikasi itu menjadi kenyataan yang ia harus terima karena tidak bersedia melepas hijab yang notabene menjadi bagian dari aturan resmi dalam Federasi Judo. Beragam tanggapan Netizen terhadap kenyataan ini. Ada yang mengatakan bahwa pilihan diskualifikasi itu adalah bentuk sentimen diskriminasi sara yang melanggar HAM. Ada yang fokus menyatakan kekaguman atas keteguhan prinsip hidup sang atlet. Ada juga yang pada akhirnya memilih memberikan klarifikasi substansi regulasi tersebut yang konon bertujuan demi menjamin keselamatan sang atlet. Klarifikasi itu kemudian dengan cepat pula menyebar melalui medsos.
Dalam tanggapan klarifikasi disampaikan, hijab atau apapun yang menutupi daerah
leher atlet Judo, potensial sangat berbahaya, khususnya jika lawan memanfaatkan
teknik Choke atau teknik cekikan. Oleh karena itu, dalam tanggapan klarifikasi itu
ditegaskan, bahwa larangan menggunakan hijab atau jilbab dalam pertandingan di
Cabor Judo, semata-mata didasarkan pada pertimbangan keselamatan atlet, bukan yang
lain.
Beragam respon atas fakta diskualifikasi di atas sudah tersaji dengan gamblang di
medsos. Sekarang, giliran saya untuk menyatakan sikap atas kasus tersebut.
Sebelumnya, di salah satu akun fb sahabat yang memosting berita diskualifikasi di
atas, saya menulis sebuah komentar, "setinggi dan segemerlap apapun Kelas Event
nya, selama masih menyangkut urusan dunia, nilainya tidak lebih dari sayap seekor
nyamuk, atau bahkan sehelai bulu. Dunia adalah negeri senda gurau yang seringkali
melalaikan".
Hemat saya, tidak masalah kita menyelenggarakan aneka perolmbaan di
dunia ini, bahkan sebenarnya harus, tetapi esensi pokok dari perlombaan apapun yang
kita adakan haruslah dalam koridor "fastabiqul khairat", yakni perlombaan dalam
kebaikan. Pertanyaannya adalah, kebaikan menurut siapa? Siapa yang paling berhak,
dan tentu saja paling mengetahui, prinsip-prinsip kebaikan dalam hidup ini? Aturan
keselamatan dari siapa yang paling masuk akal untuk kita ikuti dalam hidup ini?
Boleh-boleh saja kita merancang jenis permainan, atau perlombaan, lengkap dengan
regulasi keselamatannya. Namun, ketika prinsip keselamatan dalam permainan atau
perlombaan itu mempersyaratkan sesuatu yang justru harus melanggar bagian dari
aturan keselamatan yang disyariatkan, maka sudah cukup bagi kita untuk menyatakan
bahwa permainan berikut aturan buatan itu sudah melampaui batas. Di titik inilah
saya melihat urgensi ungkapan Atlet Judo itu, bahwa "Saya memang memilih melanggar
aturan Judo, karena saya ingin tetap mempertahankan prinsip hidup saya". Sepertinya ananda Miftahul Jannah sangat memahami dalil berikut:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al- Hadid: 20)
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir). (HR. Bukhari, No. 6416)
Bukan saja kita bangga menyaksikan pribadi-pribadi yang teguh dalam mempertahankan prinsip hidup yang benar seperti di atas. Lebih dari itu, kita patut bersyukur, jika di planet yang kita huni saat ini sudah tidak ada lagi keindahan prinsipil seperti di atas, maka sudah tak ada lagi penghalang bagi bumi untuk berguncang memuntahkan seluruh isinya tanpa sisa. Semoga Allah mengampuni kita. Aamiin Ya Rabbal'alamin.
Post a Comment for "Membaca Keteguhan Prinsip Atlet Judo Miftahul Jannah"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.