Kasus jual beli jabatan kembali menyedot perhatian publik lagi, lebih-lebih para tersangka pelakunya melibatkan figur-figur yang sangat-sangat tidak pantas melakukan itu. Makna dan esensi dari jabatan benar-benar telah diperkosa oleh para pemburunya yang tergila-gila. Akar-akar amanah yang sejatinya adalah ruh paling esensial dari sebuah jabatan, kini seperti tercerabut semua dari kalbu para pemburunya. Jadilah jabatan sebagai sebuah “komoditas non migas” yang penuh dengan relasi transaksional. Esensi amanah terkubur di sana. Yang berharga dalam relasi transaksional itu adalah konspirasi kesepakatan nominal: siapa membayar berapa. Dan celakanya, pada saat yang bersamaan, tidak jarang terjadi pula dialektika siapa “memakan” siapa.
Baca juga: Jabatan dan Rintihan Seorang Ibu
Jual beli jabatan adalah pekerjaan para pecundang |
Belum cukupkah kisah-kisah keteladanan para Sahabat dalam memaknai jabatan menjadi pijakan pokok setiap generasi sesudahnya?
Setelah masa ta’ziyah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab r.a berakhir, para Sahabat ketika itu mengadakan musyawarah untuk memilih figur yang paling layak menduduki jabatan sebagai Khalifah. Ada enam sahabat kala itu, yakni Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Saad bin Abi Waqqash.
Di awal musyawarah, lima dari enam sahabat tersebut sepakat menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf menjadi pengganti Umar bin Khattab. Tapi, Subhanallah, meski dukungan benar-benar mayoritas, Aburrahman bin ‘Auf menolak. Beliau lebih memilih Zubair bin Awwam. Namun, Zubair bin Awwam menunjuk Ali bin Abu Thalib. Demikian pula Saad bin Abi Waqqash, beliau memilih Ali bin Abu Thalib. Sementara itu, Thalhah bin Ubaidillah tetap pada opsi sebelumnya: Abdurrahman bin ‘Auf.
Giliran Ali bin Abu Thalib diminta kesediaannya, beliau keberatan, lalu menunjuk Utsman bin Affan, dan ketika ditanya kepada Utsman bin Affan, beliau menegaskan lebih memilih Ali bin Abu Thalib. Singkat riwayat, melalui proses musyawarah yang panjang (dalam sejarah disebut 3 hari), setelah pimpinan sidang yakni Abdurrahman bin ‘Auf meminta berbagai masukan atau pertimbangan dari tokoh-tokoh masyarakat Madinah saat itu, termasuk kepada Istri Baginda Rasulullah Saw, akhirnya Utsman bin Affan yang ditetapkan sebagai Khalifah ke-3. Beliau di ambil sumpah sebagai Khalifah di sebuah lokasi mulia yang sekarang kita kenal dengan Masjid Nabawi, Madinah.
Subhanallah, proses menduduki Jabatan Khalifah kala itu tidak diwarnai sedikitpun dengan berbagai keculasan ambisi yang penuh nafsu untuk meraihnya. Tidak ada riwayat jual beli jabatan. Tidak ada riwayat pencitraan yang penuh rekayasa. Tidak ada riwayat kampanye hitam yang saling menjatuhkan. Seluruhnya berlangsung dalam ranah akal sehat. Seluruhnya berlangsung dalam koridor logika yang belum mengalami anomali, atau belum terdistorsi.
Fakta keteladanan para Sahabat sesungguhnya adalah sebuah “cermin bening” yang memantulkan makna keluhuran akhlak mereka dalam memaknai esensi jabatan atau kekuasaan. Mereka memberi keteladanan yang sangat luhur dalam menyikapi sebuah jabatan. Mereka bersandar sepenuhnya pada nasehat-nasehat luhur dari Insan Teladan Ummat Manusia, Rasulullah Muhammad Saw.
Suatu ketika, Rasulullah Saw menasehati seorang sahabat bernama Abdurrahaman bin Samurah: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta-minta jabatan. Apabila engkau memperoleh jabatan tanpa memintanya, kamu akan ditolong Allah. Tetapi, jika engkau memperoleh jabatan karena kamu memintanya, maka seluruh permasalahan jabatan itu akan dibebankan kepadamu”.
Lima belas abad yang lalu, Insan teladan Ummat Manusia, Rasulullah Muhammad SAW sudah memperingatkan: “Kamu akan berlomba mendapatkan jabatan, padahal itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat nanti” (HR. Muslim)
Pertanyaan besar yang sering mengemuka adalah, jika meminta jabatan tidak dibolehkan, mengapa Nabi Yusuf melakukannya di hadapan Raja Fir’aun?
Salah Tafsir Kisah Nabi Yusuf
Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani menyatakan, orang yang bersandar pada kisah masuknya Nabi Yusuf dalam siyasah (pemerintahan) sebagai dalil kebolehan meminta jabatan telah terjebak dalam banyak kesalahan. Ayat yang menyatakan “Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir” (Surat Yusuf: 55) penafsirannya tidak boleh dihilangkan konteks dan relevansinya dengan ayat sebelumnya yang menyatakan “Dan raja berkata: Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, sang raja berkata: Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” (Surah Yusuf: 54)
Terlihat sangat jelas bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah sang rajalah yang lebih dahulu menawarkan jabatan (atau kedudukan yang tinggi) kepada Nabi Yusuf, tidak seperti penafsiran yang sengaja dikonstruksikan untuk membangun opini seolah-olah nabi Yusuf yang sibuk kasak kusuk pada raja untuk meminta jabatan. Nabi Yusuf datang kepada raja semata-mata karena ada utusan yang menemui beliau dan memintanya datang ke istana atas perintah raja.
Fakta bahwa Nabi Yusuf dipanggil raja ke istana sangat jarang yang menangkap esensinya sebagai bentuk pengakuan raja akan integritas kepribadian sang nabi di mata publik Mesir kala itu. Artinya, “jabatan” yang sejatinya “mencari” beliau, bukan beliau yang mencari jabatan, apalagi meminta-mintanya. Ayat yang menegaskan “Jadikan aku bendaharawan Mesir” dalam konteks di atas lebih relevan dimaknai sebagai sebuah penegasan tentang keahlian atau kompetensi yang dimiliki di tengah banyaknya tawaran posisi yang diberikan kepada seseorang yang telah diakui kredibilitasnya.
Kalau toh ayat di atas tetap dipaksakan penafsirannya sebagai dalil kebolehan meminta jabatan, maka langkah prioritas yang harus ditempuh terlebih dahulu bukan “meminta jabatan”, apalagi "membeli"-nya, melainkan membangun integritas lewat karya-karya nyata yang diakui publik. Kalau ini yang dilakukan, maka itulah yang selaras dengan pesan Rasulullah Saw kepada Abu Dzar bahwa ”Jabatan itu amanah. Pada hari kiamat nanti jabatan menjadi penyebab kehinaan dan penyesalan, kecuali yang mendapatkannya memiliki hak (kapasitas) untuk itu dan ia melaksanakan amanah yang dipikulkan kepadanya”
Dalam keterangan lain, Rasulullah SAW justru menyebut keutamaan pejabat dan imam yang adil, yaitu mereka yang memberikan hak kepada setiap orang yang memiliknya. Pejabat atau pemimpin seperti itu justru menjadi satu dari tujuh orang yang mendapatkan perlindungan dari Allah pada hari kiamat. Dan ini semua hanya bisa terwujud jika dan hanya jika jabatan tidak diposisikan sebagai barang dagangan jenis "komoditas nonmigas". Jual beli jabatan adalah cara termudah untuk meruntuhkan peradaban. Dan itulah bencana kita, sadar atau tidak sadar. Na'udzubillahi mindzalik.
Post a Comment for "Bencana Ketika Jabatan Diperjualbelikan"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.