Simpang siur wacana seputar pembiayaan haji muncul setelah Pemerintah Arab Saudi secara resmi menyatakan memberikan kuota tambahan kepada Indonesia sebanyak 10 ribu jemaah haji tahun 2019 ini. Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu mengatakan untuk saat ini BPKH belum memiliki kemampuan untuk membiayai 10 ribu kuota haji tambahan, mengingat nilai manfaat yang digunakan untuk pembiayaan haji reguler 2019 ini sangat besar, sekitar Rp 7 triliun. Menurut BPKH, seperti dikatakan Anggito Abimanyu, masih terlalu dini jika nilai manfaat yang ada di BPKH diproyeksikan untuk BPIH kuota tambahan.
Keterangan dari BPKH di atas diperkuat oleh Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Komisioner KPHI Syamsul Ma'arif menyatakan, tidak mungkin biaya untuk 10 ribu jemaah tambahan itu diambil dari anggaran BPKH, karena dana optimalisasi sudah teralokasikan untuk pembiayaan jemaah haji reguler tahun ini. Artinya, menurut komisioner KPHI, BPKH sudah tidak sanggup bila sampai diharuskan mengeluarkan dana lagi untuk membiayai kuota tambahan tersebut.
Dengan perspektif seperti di atas, BPKH maupun KPHI sama-sama mengusulkan kepada pemerintah agar biaya tambahan diambil dari APBN sepenuhnya, tidak boleh mengambil uang jemaah yang belum berangkat. Sampai di titik ini, berkembanglah kemudian informasi yang simpang siur, sampai-sampai ada yang curiga, jangan-jangan dana jemaah yang dikelola oleh BPKH sudah habis. Nurani saya terpanggil untuk meluruskan ini dengan mengacu pada informasi dari sumber-sumber terpercaya.
Meluruskan Simpang Siur Wacana
Keterangan resmi dari Divisi Komunikasi dan Humas BPKH menyebutkan, dana haji yang dikelola oleh BPKH hingga April tahun ini mencapai Rp 115 triliun. Dana tersebut diinvestasikan melalui berbagai instrumen keuangan syariah yang aman dan optimal, dengan proyeksi nilai manfaat sebesar Rp 7,3 triliun tahun ini. Nilai manfaat sebesar 7,3 triliun inilah yang digunakan untuk pembiayaan operasional haji tahun ini. Jadi yang "habis" atau menipis itu bukan dana haji yang dikelola oleh BPKH, melainkan dana hasil optimalisasinya, khusus yang diproyeksikan tahun 2019 ini.
Seperti diketahui, BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) rata-rata yang telah ditetapkan pemerintah tahun ini adalah sebesar Rp. 35,2 juta/jemaah,sementara secara nilai keekonomian, seharusnya tiap jemaah menyetorkan uang sebesar Rp 70 juta. Selisih kekurangannya sebesar kurang lebih Rp 35 juta dipenuhi dari dana optimalisasi. Dan ini semua sudah clear untuk pembiayaan jemaah haji reguler 2019.
Tanpa terduga sebelumnya, setelah kalkulasi pembiayaan haji reguler 2019 rampung dan ditetapkan, tiba-tiba beredar informasi adanya tambahan kuota sebesar 10 ribu jemaah. Nah, dengan BPIH rata-rata sebesar 35,2 juta/jemaah, sementara real cost pembiayaan haji sebesar Rp 70 juta, maka pertanyaannya adalah: dana dari sumber mana untuk menutupi kekurangan sebesar Rp 35 juta/jemaah, sementara dana optimalisasi tahun ini sudah teralokasikan untuk jemaah reguler tahun 2019 ini?
Jika selisih kekurangan sebesar 35 juta/jemaah itu dipenuhi dari dana BPKH, maka lembaga ini terpaksa harus memakai dana setoran awal milik jemaah calon haji yang baru mendaftar. Langkah ini dinilai oleh beberapa pihak berpeluang memunculkan keraguan (syubhat) secara syariat, karena menggunakan sebagian dana milik jemaah lain yang belum berangkat. Menggunakan modal setoran awal jemaah yang belum berangkat untuk menutupi pembiayaan jemaah yang akan berangkat adalah sebuah kezaliman, menurut beberapa pengamat.
Karena itu, usulan BPKH maupun KPHI bisa dipahami, bahwa jika jemaah yang masuk kuota tambahan tahun ini tetap harus berangkat tahun ini juga, maka kebutuhan dana tambahan sebagaimana dimaksud di atas harus berasal dari APBN, dengan pertimbangan pemanfaatan kuota tambahan sebesar 10 ribu itu merupakan bagian dari ikhtiar mengentaskan persoalan kepentingan negara di bidang antrean haji. Semua hal yang menyangkut kebutuhan negara, apapun itu, negara harus siap dengan pembiayaannya.
Kebutuhan Pembiayaan Haji Kuota Tambahan
Kuota tambahan haji sebesar 10 ribu jemaah, jika tetap harus diberangkatkan tahun 2019 ini, membutuhkan pembiayaan tambahan sekitar Rp 353 miliar. Berita baiknya, dana sebesar itu tidak seluruhnya harus dipenuhi dari APBN, karena ada dana hasil efisiensi yang bisa dimanfaatkan dari 3 (tiga) sumber, yakni: efisiensi pengadaan riyal (terutama untuk living cost jemaah) sebesar Rp 65 milyar; efisiensi pengadaan akomodasi di Makkah sebesar Rp 50 milyar; dan efisiensi tambahan nilai manfaat BPKH sebesar Rp 55 milyar, sehingga sumber dari APBN BA-BUN (Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara) yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 183 milyar.
Dengan dana APBN sebesar Rp.183 milyar untuk menutupi pembiayaan haji kuota tambahan 10 ribu jemaah, maka rata-rata tiap jemaah mendapat subsidi dari APBN sebesar Rp 18,3 juta. Terlepas dari pemikiran apakah subsidi tersebut tepat atau tidak diberikan, yang jelas jika pembiayaan tambahan dari APBN harus dilakukan, maka sebaiknya jemaah tambahan sebesar 10 ribu itu benar-benar diprioritaskan saja untuk yang berusia lanjut dari daftar antrian yang ada, meskipun urusan ajal memang tidak mengenal umur. Toh dengan mendahulukan yang berusia lanjut, urutan antrianpun akan ikut bergerak maju, dan menguntungkan semua pihak.
Baca juga: Pilihan Terbaik Menyikapi Tambahan Kuota Haji 10 Ribu Jemaah Itu
Alternatif lainnya, jika tidak ingin membebani APBN untuk pembiayaan haji kuota tambahan tahun ini, maka pilihannya adalah, serahkan kuota tambahan tersebut untuk jemaah haji khusus, toh mereka juga adalah warga negara sesama muslim yang sama dengan jemaah haji reguler. Ini pendapat saya. Bagaimana pendapat Sodara?
Perpustakaan Masjidil Haram, Makkah Al-Mukarramah, 17 Agustus 2018 |
Keterangan dari BPKH di atas diperkuat oleh Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Komisioner KPHI Syamsul Ma'arif menyatakan, tidak mungkin biaya untuk 10 ribu jemaah tambahan itu diambil dari anggaran BPKH, karena dana optimalisasi sudah teralokasikan untuk pembiayaan jemaah haji reguler tahun ini. Artinya, menurut komisioner KPHI, BPKH sudah tidak sanggup bila sampai diharuskan mengeluarkan dana lagi untuk membiayai kuota tambahan tersebut.
Dengan perspektif seperti di atas, BPKH maupun KPHI sama-sama mengusulkan kepada pemerintah agar biaya tambahan diambil dari APBN sepenuhnya, tidak boleh mengambil uang jemaah yang belum berangkat. Sampai di titik ini, berkembanglah kemudian informasi yang simpang siur, sampai-sampai ada yang curiga, jangan-jangan dana jemaah yang dikelola oleh BPKH sudah habis. Nurani saya terpanggil untuk meluruskan ini dengan mengacu pada informasi dari sumber-sumber terpercaya.
Meluruskan Simpang Siur Wacana
Keterangan resmi dari Divisi Komunikasi dan Humas BPKH menyebutkan, dana haji yang dikelola oleh BPKH hingga April tahun ini mencapai Rp 115 triliun. Dana tersebut diinvestasikan melalui berbagai instrumen keuangan syariah yang aman dan optimal, dengan proyeksi nilai manfaat sebesar Rp 7,3 triliun tahun ini. Nilai manfaat sebesar 7,3 triliun inilah yang digunakan untuk pembiayaan operasional haji tahun ini. Jadi yang "habis" atau menipis itu bukan dana haji yang dikelola oleh BPKH, melainkan dana hasil optimalisasinya, khusus yang diproyeksikan tahun 2019 ini.
Seperti diketahui, BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) rata-rata yang telah ditetapkan pemerintah tahun ini adalah sebesar Rp. 35,2 juta/jemaah,sementara secara nilai keekonomian, seharusnya tiap jemaah menyetorkan uang sebesar Rp 70 juta. Selisih kekurangannya sebesar kurang lebih Rp 35 juta dipenuhi dari dana optimalisasi. Dan ini semua sudah clear untuk pembiayaan jemaah haji reguler 2019.
Tanpa terduga sebelumnya, setelah kalkulasi pembiayaan haji reguler 2019 rampung dan ditetapkan, tiba-tiba beredar informasi adanya tambahan kuota sebesar 10 ribu jemaah. Nah, dengan BPIH rata-rata sebesar 35,2 juta/jemaah, sementara real cost pembiayaan haji sebesar Rp 70 juta, maka pertanyaannya adalah: dana dari sumber mana untuk menutupi kekurangan sebesar Rp 35 juta/jemaah, sementara dana optimalisasi tahun ini sudah teralokasikan untuk jemaah reguler tahun 2019 ini?
Jika selisih kekurangan sebesar 35 juta/jemaah itu dipenuhi dari dana BPKH, maka lembaga ini terpaksa harus memakai dana setoran awal milik jemaah calon haji yang baru mendaftar. Langkah ini dinilai oleh beberapa pihak berpeluang memunculkan keraguan (syubhat) secara syariat, karena menggunakan sebagian dana milik jemaah lain yang belum berangkat. Menggunakan modal setoran awal jemaah yang belum berangkat untuk menutupi pembiayaan jemaah yang akan berangkat adalah sebuah kezaliman, menurut beberapa pengamat.
Karena itu, usulan BPKH maupun KPHI bisa dipahami, bahwa jika jemaah yang masuk kuota tambahan tahun ini tetap harus berangkat tahun ini juga, maka kebutuhan dana tambahan sebagaimana dimaksud di atas harus berasal dari APBN, dengan pertimbangan pemanfaatan kuota tambahan sebesar 10 ribu itu merupakan bagian dari ikhtiar mengentaskan persoalan kepentingan negara di bidang antrean haji. Semua hal yang menyangkut kebutuhan negara, apapun itu, negara harus siap dengan pembiayaannya.
Kebutuhan Pembiayaan Haji Kuota Tambahan
Kuota tambahan haji sebesar 10 ribu jemaah, jika tetap harus diberangkatkan tahun 2019 ini, membutuhkan pembiayaan tambahan sekitar Rp 353 miliar. Berita baiknya, dana sebesar itu tidak seluruhnya harus dipenuhi dari APBN, karena ada dana hasil efisiensi yang bisa dimanfaatkan dari 3 (tiga) sumber, yakni: efisiensi pengadaan riyal (terutama untuk living cost jemaah) sebesar Rp 65 milyar; efisiensi pengadaan akomodasi di Makkah sebesar Rp 50 milyar; dan efisiensi tambahan nilai manfaat BPKH sebesar Rp 55 milyar, sehingga sumber dari APBN BA-BUN (Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara) yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 183 milyar.
Dengan dana APBN sebesar Rp.183 milyar untuk menutupi pembiayaan haji kuota tambahan 10 ribu jemaah, maka rata-rata tiap jemaah mendapat subsidi dari APBN sebesar Rp 18,3 juta. Terlepas dari pemikiran apakah subsidi tersebut tepat atau tidak diberikan, yang jelas jika pembiayaan tambahan dari APBN harus dilakukan, maka sebaiknya jemaah tambahan sebesar 10 ribu itu benar-benar diprioritaskan saja untuk yang berusia lanjut dari daftar antrian yang ada, meskipun urusan ajal memang tidak mengenal umur. Toh dengan mendahulukan yang berusia lanjut, urutan antrianpun akan ikut bergerak maju, dan menguntungkan semua pihak.
Baca juga: Pilihan Terbaik Menyikapi Tambahan Kuota Haji 10 Ribu Jemaah Itu
Alternatif lainnya, jika tidak ingin membebani APBN untuk pembiayaan haji kuota tambahan tahun ini, maka pilihannya adalah, serahkan kuota tambahan tersebut untuk jemaah haji khusus, toh mereka juga adalah warga negara sesama muslim yang sama dengan jemaah haji reguler. Ini pendapat saya. Bagaimana pendapat Sodara?
Post a Comment for "Meluruskan Simpang Siur Wacana Pembiayaan Haji Kuota Tambahan 2019"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.