Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ini adalah peribahasa yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Peribahasa tersebut mengandung arti keniscayaan mengikuti kebiasaan dan adat istiadat di tempat kita berada. Ini ada benarnya, tetapi ada catatan penting yang mesti diberikan atas peribahasa tersebut agar arti atau pemaknaannya tidak menjerumuskan kita pada kehidupan yang sia-sia. Bagaimanapun, adat atau budaya itu penting, tetapi kepentingannya bersandar sepenuhnya pada kesesuaian atau keselarasan substansinya dengan nilai-nilai dasar keyakinan hidup yang paling asasi; keyakinan suprematif yang tidak ada lagi keyakinan lain yang melampaui ketinggian nilainya bagi kehidupan seluruh makhluk di jagad raya ini. Perhatikanlah bahwa, Bumi dan Langit adalah ciptaan Allah, maka hanya aturan-Nya saja yang layak dijunjung, di bumi manapun kita berpijak, atau di langit manapun yang kita junjung.
Berbeda ceritanya kalau kita bisa menciptakan bumi dan langit tandingan, lalu kita semua pindah tempat hidup ke bumi dan langit tandingan ciptaan kita, bolehlah kita bikin aturan sendiri, sebagai pijakan, atau sebagai aturan tandingan. Kapan-kapan kalau sudah selesai menciptakan bumi dan langit tandingan, maka sebelum pindah atau migrasi ke bumi dan langit baru itu, pastikan kita tidak membawa badan kita saat ini yang notabene ciptaan Allah, kita harus membawa badan atau tubuh hasil ciptaan kita sendiri. Di samping itu, sebelum migrasi ke bumi dan langit ciptaan kita sendiri, pastikan juga bahwa air dan oksigen ciptaan kita sudah tersedia pula di sana.
Dalam konteks pemaknaan seperti di atas, tergambar bahwa core value (nilai inti) dari adat atau budaya, mau tak mau, suka tak suka, terpaksa atau sukarela, harus bernafaskan Tauhid, baik itu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, maupun Tauhid Asma was Shifat. Ketika core value adat atau budaya menyimpang dari unsur-unsur keyakinan supremasi tersebut, maka ketika itulah adat atau budaya kehilangan legitimasi sehingga kemudian layak untuk dirubah.
Tak perlu ada istilah tabu untuk merubah adat atau budaya kalau memang esensinya cacat legitimasi. Yang tabu itu justru adalah kukuh mempertahankan adat atau budaya yang jelas-jelas mengarah pada syirik, alias bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan supremasi di atas tadi. Bagaimanapun, adat atau budaya pada dasarnya adalah kesepakatan saja, yang kemudian dilaksanakan secara turun temurun. Maka ketika esensinya cacat legitimasi, cukup dibuat kesepakatan baru yang mencerminkan core value di atas, lalu kesepakatan itu dilaksanakan secara turun temurun pula. Gitu aja kok repot.
👍
ReplyDelete