Beredar di media sosial, dialog seorang jemaah umrah dari Indonesia dengan seorang jemaah umrah dari negara lain. Dialog itu seperti mengembara menyusuri makna-makna cinta yang cakrawalanya membentang tak bertepi menembus sekat-sekat pemaknaan yang seringkali membelenggu di ruang-ruang tafsir yang sempit. Dialog itu sangat diyakini oleh penuturnya merupakan bagian dari cara Allah menghadirkan sosok pencerah dalam kehidupannya, apalagi momentum dialog tersebut berlangsung sesaat setelah selesai bermunajat di depan Ka'bah tepat di arah yang menghadap ke Multazam.
Dari perawakan atau karakteristik fisik yang terlihat, jemaah umrah dari negara lain itu mirip dengan ciri-ciri fisik orang Afrika pada umumnya: tinggi, besar, kekar, hitam legam. Dialognya berlangsung dalam bahasa Inggris, yang kemudian dituturkan ulang dalam bahasa Indonesia. Berikut ringkasan dialognya.
"Kenapa orang Indonesia suka sekali berusaha mencium Hajar Aswad?"
Dari perawakan atau karakteristik fisik yang terlihat, jemaah umrah dari negara lain itu mirip dengan ciri-ciri fisik orang Afrika pada umumnya: tinggi, besar, kekar, hitam legam. Dialognya berlangsung dalam bahasa Inggris, yang kemudian dituturkan ulang dalam bahasa Indonesia. Berikut ringkasan dialognya.
"Kenapa orang Indonesia suka sekali berusaha mencium Hajar Aswad?"
"Tak lain karena Cinta. Ka'bah adalah Kiblat ummat Islam, dan Hajar Aswad adalah 'batu spesial' di salah satu sudut Ka'bah yang pernah dicium Rasulullah SAW. Maka mencium Hajar Aswad adalah refleksi cinta orang Indonesia terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan, kukira bukan hanya orang Indonesia yang suka sekali berusaha untuk mencium Hajar Aswad"
"Apakah orang Indonesia bertingkah laku seperti itu juga terhadap anugerah-anugerah Allah lainnya?"
"Maksud anda?"
"Jika Allah Ta'ala menganugerahkan kalian Istri, Anak-anak dan Orang Tua yang masih hidup, itu adalah wujud cinta Allah kepada kalian. Pertanyaan saya: Apakah orang-orang Indonesia, berusaha dengan gigih mencurahkan cinta atau kasih sayang terhadap Anak, Istri dan Orang Tua mereka yang masih hidup yang diamanahkan Allah Ta'ala sebagaimana kegigihan mereka berusaha mencium Hajar Aswad? Jika terhadap batu saja refleksi cinta kalian begitu dahsyat, lebih-lebih lagi terhadap makhluk Allah yang telah diamanahkan kepada kalian. Keberhasilan haji atau umrah kita, mabrur atau tidaknya, dinilai bukan pada saat kita menyelesaikan ritual-ritual haji/umrah, seperti "Thawaf" atau bahkan mencium "Hajar Aswad", namun, dinilai pada saat kita kembali ke keluarga dan lingkungan. Apakah kita mampu menunaikan amanah-amanah, anugerah-anugerah, kasih sayang Allah Ta'ala kepada kita, dengan bersungguh-sungguh, bersusah payah, mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang kita cintai, pekerjaan dan masyarakat"
***
Sangat singkat dialog itu, tetapi sungguh berhasil meletakkan makna cinta atau mahabbah pada posisi yang semestinya, sehingga cinta itu benar-benar tidak terputus di tepi Hajar Aswad saja misalnya, lalu melemah dan memudar dalam aplikasi kehidupan di segala lini.
Jika mencium Hajar Aswad adalah sebuah refleksi cinta, maka dalam rangkaian kegigihan ikhtiar untuk mendekat dan menciumnyapun sejatinya haruslah merupakan bagian dari spektrum refleksi cinta itu sendiri, dan bukan adu kekuatan fisik untuk saling sikut menyingkirkan jemaah-jemaah lainnya yang juga ingin menyatakan cintanya melalui ritual mencium Hajar Aswad.
Baca juga: Haji dan Kedalaman Makna Bilangan 7
Post a Comment for "Dialog Menggetarkan Tentang Cinta dalam Ciuman Hajar Aswad"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.