Izinkan tulisan ini saya awali dengan mengetengahkan kutipan pernyataan Gus Baha (KH. Bahauddin Nursalim) terkait perspektif politik sebagaimana dimuat di beberapa media cetak maupun online belum lama ini.
"Kalau umat Islam nggak mau bahas dan terjun politik, memangnya Islam mau disalurkan lewat apa? Seribu fatwa haram prostitusi itu masih kalah dengan satu tanda-tangan penutupan lokalisasi. Dan, yang bisa tanda-tangan seperti itu adalah penguasa, yang lahir dari proses politik" (Gus Baha)
*****
Diskusi tentang politik, sekaligus keputusan untuk masuk dalam lingkaran politik, sejatinya adalah sebuah pilihan terpuji bagi umat Islam, khususnya ketika prinsip-prinsip rahmatan lil'alamin ingin terejawantah (atau diejawantahkan) dalam ranah kehidupan yang lebih luas melampaui batas-batas primordial yang seringkali dibuat secara apriori oleh kalangan tertentu.
Batas-batas primordial itu selama ini lebih banyak tampil dalam bentuk sikap skeptis dan sekaligus alergi untuk terjun dalam dunia politik dengan berbagai pertimbangan yang dibuat-buat tanpa dasar-dasar argumen yang selaras dengan nalar yang lebih akomodatif emansipatoris.
Golongan yang skeptis dan sekaligus alergi dengan politik seringkali mengetengahkan pernyataan bahwa "tak sedikit orang saleh berubah menjadi salah ketika terjun dalam pusaran arus politik".
Memang, harus kita akui, pernyataan seperti di atas berharga untuk kepentingan muhasabah diri, akan tetapi tidak aplikatif untuk dasar membuat generalisasi referensi sikap seolah-olah pilihan hidup untuk terjun dalam politik itu membahayakan integritas kepribadian seseorang.
Fenomena "kesalehan" yang kemudian berubah menjadi "kesalahan" tidak menunggu setelah seseorang terjun dalam konstelasi politik. Fenomena "perubahan" seperti itu bahkan dapat terjadi dalam ranah kehidupan domestik rumah tangga. Berita seputar kejadian-kejadian faktual KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) misalnya, adalah salah satu contoh konkrit bagaimana "perubahan" itu sangat bisa terjadi tanpa seseorang harus bersentuhan dengan dunia politik sekalipun.
Pelajaran berharga yang kemudian kita petik adalah, bahwa soal-soal tentang integritas, moralitas, yang melekat erat pada diri seseorang akan terus teruji sepanjang linimasa kehidupannya, baik ia terjun dalam dunia politik maupun mengambil sikap untuk menjauhinya. Pelajaran ini sebenarnya meletakkan dasar berpijak untuk tidak alergi pada dunia politik, dan sekaligus membawa pesan moral untuk tampil aktif penuh keyakinan mengambil peran-peran politik melalui jalur-jalur ikhtiar yang tidak tercela.
Konsistensi perjuangan politik yang tidak tercela itu akan hidup dalam jiwa siapapun yang hatinya telah tercerahkan oleh kepastian nilai relativitas politik kekuasaan sebagaimana yang terkandung dalam ayat berikut:
Ù‚ُÙ„ِ اللّٰÙ‡ُÙ…َّ Ù…ٰÙ„ِÙƒَ الْÙ…ُÙ„ْÙƒِ تُؤْتِÙ‰ الْÙ…ُÙ„ْÙƒَ Ù…َÙ†ْ تَØ´َآØ¡ُ ÙˆَتَÙ†ْزِعُ الْÙ…ُÙ„ْÙƒَ Ù…ِÙ…َّÙ†ْ تَØ´َآØ¡ُ ۖ Ùˆَتُعِزُّ Ù…َÙ†ْ تَØ´َآØ¡ُ ÙˆَتُØ°ِÙ„ُّ Ù…َÙ†ْ تَØ´َآØ¡ُ ۗ بِÙŠَدِÙƒَ الْØ®َÙŠْرُ ۗ اِÙ†َّÙƒَ عَÙ„ٰÙ‰ ÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ Ù‚َدِÙŠْرٌ
Katakanlah (Muhammad), Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 26)
Narasi kekuasaan dalam Ayat di atas disandingkan dengan nilai kemuliaan dan/atau bahkan sebaliknya dengan nilai kehinaan. Artinya, dalam perspektif pemahaman saya, kekuasaan sebagai alat, atau sebagai sarana (dan bukan sebagai tujuan) berpeluang besar membawa pada kemuliaan sebagaimana halnya ia membuka peluang pula pada kehinaan, bergantung bukan saja pada bagaimana alat atau sarana itu digunakan, tetapi sekaligus juga bagaimana ia diraih atau diperoleh sebelumnya melalui proses politik.
Hal paling prinsip yang saya tangkap dari ayat di atas adalah, bahwa kekuasaan yang lahir dari proses politik, sebagaimana disebutkan dalam kutipan Gus Baha di awal tulisan ini, ditakdirkan dapat berada (atau dititipkan) di tangan siapapun yang dikendaki oleh Allah, terlepas dari bagaimana proses politik yang terjadi sebelumnya; terpujikah, atau tercelakah?!
Esensinya, kekuasaan yang notabene titipan itu adalah takdir pergiliran yang dirancang oleh Sang Pemilik Mutlak Kekuasaan itu untuk menguji kita.
Karena itu, keyakinan pokok saya tentang perpektif kekuasaan, yang dinamikanya diwahanai oleh proses politik itu, tersimpul dalam kutipan saya berikut ini:
"Sejatinya, titipan kekuasaan itu bukan untuk membuat orang lain makin tunduk kepada kita, melainkan agar kita semua makin tunduk kepada Sang Pemilik mutlak kekuasaan itu" (La Ode Ahmad)
Dengan perspektif seperti itulah saya menangkap pesan moral dalam kutipan Gus Baha di awal tulisan ini; bahwa umat Islam jangan alergi politik; umat Islam harus tampil elegan dalam dunia politik, dengan modal ilmu dan integritas yang kokoh, memperjuangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia, apapun agamanya, apapun sukunya, semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Titik.
Post a Comment for "Membedah Perspektif Politik Gus Baha"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.