“Aku Bersaksi dengan Penuh Keyakinan: Tidak Ada Manusia Sebelum Adam”

Artikel ini sengaja saya buat untuk menanggapi judul sebuah buku: Manusia Sebelum Adam. Sekali lagi, yang saya tanggapi adalah redaksi judulnya, bukan isi bukunya. Entah mengapa, saya tidak begitu tertarik membaca isi sebuah buku ketika judulnya terkesan seolah-olah meragukan (apalagi menyangkal) ketentuan Zat Yang Maha Pencipta, Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sampul buku berjudul: Manusia Sebelum Adam.


Dalam Al-Qur'an, pandangan mengenai manusia pertama mengacu kepada penciptaan Nabi Adam sebagai manusia pertama. Beberapa poin utama yang ditegaskan dalam Al-Qur'an terkait dengan penciptaan manusia pertama adalah sebagai berikut:
  • Penciptaan dari Tanah: Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, dari tanah atau debu. Hal ini terdapat dalam beberapa ayat, seperti dalam Surat Al-Hijr ayat 28-29: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud"
  • Kedudukan sebagai Khalifah: Allah menempatkan Adam sebagai khalifah di bumi, yang berarti ia diberikan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Ini disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
  • Diberi Pengetahuan: Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda, yang menunjukkan keunggulan manusia pertama dalam hal pengetahuan. Ini bisa kita temukan dalam Surat Al-Baqarah ayat 31: "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
  • Pengujian dan Pengusiran dari Surga: Adam dan istrinya, Hawa, diuji oleh Allah di Surga dengan larangan untuk mendekati pohon tertentu. Ketika mereka melanggar larangan tersebut akibat bujukan Iblis, mereka diturunkan ke bumi. Ini disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 35-36: "Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di dalamnya sekehendakmu. Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.' Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, 'Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”

Dalam tradisi Islam, nama "Adam" digunakan untuk menyebut manusia pertama. Sebutan “Adam” juga digunakan dalam tradisi agama-agama Abrahamik lainnya seperti Yahudi dan Kristen. Tampaknya terminologi “Adam” ini memiliki justifikasi maknawiah yang kuat. Kata "Adam" dalam bahasa Ibrani memiliki korelasi dengan kata "Adamah" yang berarti "tanah" atau "bumi". Hal ini relevan karena dalam narasi penciptaan, Adam diciptakan dari tanah. Dalam Islam, ini juga ditegaskan dalam Al-Qur'an bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah atau debu.

Dalam Al-Qur'an, penciptaan Adam dari tanah atau debu menegaskan relasionalitas yang kuat antara manusia dengan bumi. Adam menjadi simbol dari asal mula manusia yang berasal dari elemen bumi, yang kemudian diberi kehidupan oleh Allah. "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk" (QS. Al-Hijr: 26)

Nama "Adam" telah digunakan dalam wahyu-wahyu Allah, termasuk dalam Al-Qur'an, sebagai identitas dari manusia pertama. Penggunaan nama “Adam” ini menegaskan peran khusus Adam sebagai bapak umat manusia dan sebagai tokoh penting dalam sejarah penciptaan.

Nama “Adam” juga menjadi simbol dari manusia secara umum. Dalam beberapa konteks, ketika menyebut Adam, maksudnya bisa merujuk kepada seluruh umat manusia, bukan hanya individu pertama. Ini tercermin dalam istilah "Bani Adam" yang merujuk kepada keturunan Adam, yaitu seluruh umat manusia.

Atas dasar di ataslah kemudian saya bersaksi dengan penuh keyakinan, bahwa tidak ada manusia sebelum Adam. Manusia pertama disebut Adam karena namanya berakar pada konsep penciptaan dari tanah, dan yang paling penting nama ini diberikan oleh Allah dalam tradisi Islam serta agama-agama Abrahamik lainnya. Bahkan, semakin terbuka pemahaman kita bahwa Adam bukan hanya nama pribadi, tetapi sekaligus juga simbol dari asal-usul manusia (Bani Adam, Anak Cucu Adam) dan hubungan manusia dengan bumi.

Bahwa kemudian ada sebuah buku yang diberi judul “Manusia Sebelum Adam”, tampaknya lebih banyak merepresentasikan topik yang tidak jarang dibahas dalam diskusi teologis, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dalam perspektif teologis, khususnya dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, tidak ada lagi celah untuk mengakui adanya manusia sebelum Adam, sebagaimana dijelaskan di awal. Tidak ada manusia sebelum Adam. Titik. 

Berbeda dengan perspektif teologis atau Agama, dalam konteks sains atau ilmu pengetahuan, teori evolusi menyatakan bahwa manusia modern (Homo sapiens) berevolusi dari nenek moyang bersama dengan spesies hominid lainnya. Teori ini menyiratkan bahwa sebelum adanya Homo sapiens, ada spesies manusia purba seperti Homo erectus dan Neanderthal yang hidup di bumi.

Antara perspektif teologis dan sains tampak adanya kesan dikotomi perbedaan dalam mengelaborasi sejarah penciptaan manusia. Hipotesis saya secara pribadi, dikotomi di atas bisa dihilangkan, manakala hasil elaborasi sains tentang adanya “manusia purba” sebelum Adam, dipahami sebagai sebuah entitas penciptaan yang “menyerupai manusia” saja, tapi “bukan manusia”. Artinya, sains benar-benar mengelaborasi adanya “makhluk menyerupai manusia” sebelum Adam, sementara perspektif teologis mengelaborasi “makhluk yang benar-benar manusia” dengan Adam sebagai manusia pertama. Jika hipotesis ini diterima, maka seluruh energi positif kita bisa dicurahkan sepenuhnya untuk memperkuat sinergitas antara agama dan sains dalam kerangka besar membangun kemaslahatan hidup yang jauh lebih konstruktif, memakmurkan bumi sebagai salah satu tugas kekhalifahan.

Terlepas dari perbedaan pandangan antara agama dan sains, fokus pada menjalani kehidupan yang baik, adil, dan penuh kasih sayang adalah hal yang paling penting. Tujuan utama dari kehidupan, menurut banyak agama, adalah untuk menjalani hidup yang bermakna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Sejatinya, menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan dan menjalankan ajaran agama dengan ikhlas adalah inti dari kehidupan spiritual, yang melampaui diskusi tentang asal-usul manusia.

Post a Comment for "“Aku Bersaksi dengan Penuh Keyakinan: Tidak Ada Manusia Sebelum Adam”"