Mengapa Ada Orang Memilih Bunuh Diri?

Bunuh diri adalah tindakan merampas nyawa sendiri dengan sengaja. Bunuh diri menjadi perhatian besar di berbagai budaya dan agama di seluruh dunia. Setiap agama, dengan landasan moral dan spiritual, memiliki pandangan dan sikap mengenai tindakan bunuh diri ini.

Dalam Islam, bunuh diri dipandang sebagai dosa besar dan dilarang keras. Islam mengajarkan, kehidupan adalah anugerah dari Allah SWT, dan hanya Allah yang memiliki hak untuk menentukan kapan seseorang harus meninggalkan dunia ini. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa : 29).

Dalam agama Kristen, khususnya dalam pandangan Katolik dan sebagian besar aliran Protestan, bunuh diri juga dipandang sebagai dosa. Kehidupan adalah hadiah dari Tuhan, dan mengambil nyawa sendiri dipersepsikan sebagai pelanggaran terhadap kehendak Tuhan.

Dalam agama Hindu, kehidupan dianggap sebagai bagian dari siklus reinkarnasi yang disebut samsara. Bunuh diri tidak hanya dilarang, tetapi juga dipandang sebagai tindakan yang memperburuk karma seseorang. Hal ini karena bunuh diri dianggap sebagai pelarian dari tanggung jawab dan penderitaan yang seharusnya dihadapi dalam kehidupan ini. Dalam kitab Hindu bernama Bhagavad Gita, bunuh diri disebut sebagai tindakan yang bertentangan dengan dharma, atau kewajiban moral seseorang. Mereka yang memilih bunuh diri diyakini akan mengalami penderitaan lebih lanjut dalam kehidupan berikutnya sebagai akibat dari karma negatif yang dihasilkan dari pilihan tersebut.

Dalam agama Buddha, kehidupan dihargai sebagai kesempatan untuk mencapai nirvana, yaitu pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian. Bunuh diri dianggap sebagai tindakan yang menghalangi kemajuan spiritual seseorang, karena itu berarti menyerah pada penderitaan, alih-alih berusaha mengatasi dan memahami penyebabnya. Buddha mengajarkan bahwa semua penderitaan berasal dari keinginan dan ketidaktahuan, dan oleh karena itu, solusi terbaik adalah mencari pencerahan dan melepaskan diri dari keterikatan duniawi, bukan mengakhiri hidup.

Agama Yahudi sangat menghargai kehidupan dan menganggap bunuh diri sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehidupan dianggap sebagai amanah dari Tuhan, dan setiap orang berkewajiban untuk merawat dan melindungi nyawanya sendiri. Dalam Talmud, bunuh diri disebut sebagai dosa besar, meskipun Yahudi juga mengakui kompleksitas keadaan mental yang mungkin menyebabkan seseorang mengambil tindakan tragis ini.

Beberapa agama lain seperti Sikhisme dan Jainisme juga memiliki pandangan serupa, menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang sakral dan bunuh diri sebagai pelanggaran terhadap ajaran agama. Namun, Jainisme memiliki konsep unik yang dikenal sebagai Sallekhana, yaitu praktik meninggalkan tubuh secara sukarela melalui puasa sampai mati, tetapi ini dilakukan dalam konteks spiritual yang sangat khusus dan diperkenankan hanya setelah memenuhi kriteria tertentu.

Tampak bahwa seluruh agama di dunia memandang bunuh diri sebagai tindakan yang menodai prinsip-prinsip moral dan spiritualitas. Kehidupan dipandang sebagai pemberian ilahi yang harus dijaga dan dihormati.

Secara prinsip, semua agama tidak ada yang memberikan toleransi terhadap pilihan bunuh diri. Karena itu, pertanyaan “mengapa ada orang memilih bunuh diri” perlu mendapat perhatian serius semua kalangan, apapun agama dan keyakinannya.

Dalam beberapa literarur, kita bisa jumpai sejumlah teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang memilih bunuh diri. Semua teori itu menggarisbawahi satu hal, bahwa pilihan seseorang untuk bunuh diri dilandasi oleh kondisi yang sangat kompleks, seringkali melibatkan kombinasi antara faktor psikologis, sosial, dan biologis, antara lain sebagai berikut:
  1. Depresi dan Gangguan Mental Lainnya: Orang yang memilih bunuh diri kebanyakan dari mereka menderita depresi berat atau gangguan mental lainnya, seperti gangguan kecemasan, bipolar, atau skizofrenia, yang membuat mereka merasa putus asa, tidak berdaya, dan kehilangan minat dalam kehidupan.
  2. Tekanan Hidup yang Berat: Kesulitan hidup yang ekstrim, seperti masalah keuangan, kehilangan pekerjaan, atau tekanan akademis, dapat membuat seseorang merasa tidak ada jalan keluar selain mengakhiri hidup.
  3. Masalah Hubungan: Konflik dalam hubungan, perceraian, putus cinta, atau kehilangan orang yang dicintai sering kali menjadi pemicu kuat untuk bunuh diri.
  4. Perasaan Terisolasi dan Kesepian: Seseorang yang merasa terisolasi atau tidak memiliki dukungan sosial mungkin merasa sendirian dan tidak memiliki alasan untuk terus hidup.
  5. Trauma dan Perundungan: Pengalaman traumatik, seperti pelecehan fisik, seksual, atau emosional, dapat meninggalkan luka yang mendalam dan membuat seseorang merasa hancur secara emosional.
  6. Masalah Kesehatan Fisik: Kondisi medis yang serius atau kronis, seperti penyakit yang menyebabkan rasa sakit yang tidak tertahankan atau disabilitas berat, dapat membuat seseorang merasa putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
  7. Pengaruh Napza: Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dapat memperburuk masalah kesehatan mental dan membuat seseorang lebih impulsif, meningkatkan risiko bunuh diri.
  8. Faktor Biologis: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada komponen genetik dan biologis yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk bunuh diri, termasuk ketidakseimbangan kimia otak.
  9. Stigma dan Kurangnya Dukungan: Banyak orang yang merasa malu atau takut untuk mencari bantuan karena stigma yang melekat pada penyakit mental. Ini bisa membuat mereka merasa terjebak dan tanpa jalan keluar.
Sembilan faktor di atas, jika dicermati secara saksama, tampak seluruhnya berada dalam ranah kerapuhan mental, dan ini semua berakar pada prinsip-prinsip moralitas dan spiritualitas. Artinya, ditengah hiruk pikuk kemajuan zaman yang bersifat fisik material saat ini, kekosongan jiwa akan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas menjadi kebutuhan yang sangat urgen untuk dipenuhi.

Dalam perspektif di atas, kita memandang pilihan untuk bunuh diri di satu pihak, dan tradisi perundungan seseorang atas orang lain di sisi yang lain yang kemudian memicu pilihan tragis korban untuk bunuh diri misalnya, semakin memperlihatkan skala prioritas kebutuhan penguatan sisi moralitas sekaligus spiritualitas kita semua secara kolektif. Pelaku bunuh diri, dan pelaku perundungan yang kemudian memicu pilihan seseorang untuk bunuh diri misalnya, sama-sama menodai sisi kemanusiaan kita sebagai makhluk berakal yang diciptakan untuk saling menyayangi sebagai bagian dari totalitas wujud pengabdian kita kepada Sang Pencipta.
Sumber Gambar: DetikHealth

Post a Comment for "Mengapa Ada Orang Memilih Bunuh Diri?"