![]() |
Ilustrasi sidang isbath penetapan hilal awal Ramadan |
Fenomena ini sejatinya membuka ruang refleksi yang lebih dalam, bukan hanya tentang aspek teknis penentuan hilal, tetapi juga tentang makna persatuan, hikmah ilmu pengetahuan, serta hubungan antara keyakinan dan kebersamaan dalam menjalankan ibadah.
Hisab dan Rukyat: Dua Jalan Menuju Satu Tujuan
Dalam tradisi Islam, metode penentuan awal bulan Hijriyah memiliki dua pendekatan utama:
- Pendekatan Hisab (Perhitungan Astronomi). Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal, yaitu cukup dengan memastikan bahwa hilal sudah berada di atas ufuk setelah matahari terbenam, tanpa perlu melihatnya secara langsung. Dengan metode ini, Muhammadiyah sudah menetapkan 1 Ramadan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025 sejak jauh-jauh hari.
- Pendekatan Rukyat (Pengamatan Hilal). Pemerintah, melalui Kementerian Agama, menggunakan metode imkan rukyat (kemungkinan rukyat), yaitu memastikan apakah hilal bisa terlihat dengan kriteria tertentu. Sidang isbat yang digelar pada 28 Februari 2025 akhirnya menetapkan awal Ramadan tepat sama dengan hasil hisab Muhammadiyah.
Kesamaan hasil ini menandai bagaimana kedua metode, yang selama ini sering dianggap berbeda secara diametral, ternyata dapat berujung pada keputusan yang sama. Lebih jauh, kesamaan penetapan awal Ramadan tahun ini mengajarkan beberapa hal mendalam:
- Ilmu Pengetahuan dan Keyakinan Tidak Harus Bertentangan. Ilmu astronomi terus berkembang, dan hisab modern semakin presisi dalam memprediksi posisi hilal. Ketika data hisab yang digunakan Muhammadiyah akhirnya sejalan dengan hasil rukyat yang menjadi dasar keputusan pemerintah, ini menunjukkan bahwa iman dan ilmu bisa berjalan berdampingan dalam harmoni.
- Persatuan Umat adalah Hikmah yang Lebih Besar. Perbedaan metode penentuan hilal sering kali membuat umat Islam di Indonesia memulai Ramadan dan Idulfitri pada hari yang berbeda. Namun, tahun ini, umat Islam di Indonesia memulai Ramadan secara serentak. Ini adalah momentum persatuan yang patut disyukuri, mengingat sering kali perbedaan metode berujung pada polemik yang tidak produktif.
- Kebijaksanaan dalam Beragama. Kesepakatan tahun ini mengingatkan kita bahwa dalam beragama, ada ruang bagi ijtihad dan metode yang berbeda. Selama perbedaan itu didasarkan pada dalil yang sahih dan argumentasi yang kuat, maka keduanya dapat diterima tanpa harus saling meniadakan. Seperti kata Imam Syafi'i, "Pendapatku benar tetapi bisa salah, dan pendapat orang lain salah tetapi bisa benar."
Titik temu awal Ramadan 1446 H antara hasil sidang isbat pemerintah dan hisab Muhammadiyah bukan sekadar kebetulan astronomi. Fakta tersebut sesungguhnya merupakan simbol bahwa ilmu dan iman bisa berjalan seiring, bahwa persatuan dalam perbedaan adalah anugerah, dan bahwa dalam mencari kebenaran, kita selalu dituntun untuk tetap bersikap rendah hati.
Semoga Ramadan kali ini tidak hanya menjadi momentum untuk meningkatkan ibadah, tetapi sekaligus juga untuk mempererat ukhuwah Islamiyah di tengah umat. Karena pada akhirnya, Ramadan bukan hanya soal kapan kita memulai, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menjalaninya dengan kesungguhan ikhtiar untuk meraih keutamaan-keutamaan di dalamnya.
Post a Comment for "Refleksi Di Balik Titik Temu Hisab dan Rukyat Awal Ramadan 1446 H/2025 M"
Pembaca yang budiman, silahkan dimanfaatkan kolom komentar di bawah ini sebagai sarana berbagi atau saling mengingatkan, terutama jika dalam artikel yang saya tulis terdapat hal-hal yang perlu diklarifikasi lebih lanjut. Terima kasih.